Jam bergaya romawi peninggalan
nenek, baru saja berdentang dua belas kali ketika sebuah panggilan masuk ke
telepon genggamku. Aku tak menyukai dering telepon pada larut malam atau
menjelang subuh; ia hampir selalu mengabarkan berita yang begitu mendesak dan
kematian. Aku tetap mengangkatnya, terlebih saat nama salah satu kawan dekatku
tertera di sana.
“Aku
ada di depan rumahmu; sekarang. Akankah kamu keluar dan menemaniku?”
Itu katanya, setelah isak tangisnya
yang jadi pertama kali menyapa. Aku pun mengajaknya masuk ke ruang tengah, tapi
ia menolak. Ia bilang, ia ingin biarkan dirinya disergap udara dingin malam –
biar ia merasakan gigil lain selain rindu. Aku membisu, sembari menyodorkannya
secangkir kopi hangat. Aku tahu ia tak menyukai kopi, ia lebih menyukai jus
buah. Tapi banyak hal yang bisa kamu selesaikan lewat secangkir kopi – terutama
jika itu perkara hati. Misal saja, saat kamu ingin terus terjaga mengeja rindu,
kamu bisa mengadu pada kopi. Ketika kamu sedang kesal dengan seseorang yang
mengundang kenangan, kamu bisa menyiraminya dengan kopi. Saat kamu ingin sekali
bertemu menuntaskan pertanyaan hati, tunjuk saja salah satu kedai kopi. Atau,
ketika kamu ingin menggambarkan bagaimana sebuah rasa bekerja, katakan itu
seperti kopi; yang awalnya pahit karena hanya berdiri sendiri, tapi bisa jadi
rasa yang berwarna ketika itu menemui krimmer, gula, dan lainnya. Baru kusadari
aku mengoceh bisu dengan diri sendiri saat kawanku itu menyentuh pundakku dan
mulai bercerita.
“Perkaranya
sederhana; aku mencintainya. Kukatakan padanya akan menunggunya, mungkin
selamanya. Tapi aku tahu ia tidak hadir untukku bersama, dan karenanya sekarang
ia sudah beranjak entah ke mana. Tapi aku masih di sini, ada rindu yang belum
tuntas. Ada kabar yang ingin kutanyakan, ada cerita dan kisah yang ingin
kusampaikan, ada rasa yang ingin kubagikan – lantas, padanya. Aku ingin
berpulang sekali lagi dan membangun rumah; dengannya. Bagaimana aku harus
berkata dan bergerak, ketika ia bahkan berusaha melupakan?”
Tatapan lukanya menembus mataku –
aku melihat kedua tangannya lecet, terlalu keras ia menggenggam telepon
genggamnya, mungkin letih menanti kabar dari seseorang yang dicintanya tapi tak
ada. Matanya membengkak – mungkin ingin sekali keluar dan mencari tempatnya
biasa ia bersarang di kedalaman mata seseorang. Aku memalingkan wajah,
kuletakkan mataku pada bulan yang buram. Sedangkan isak tangis kawanku mulai
terdengar lagi, ia masih merengek jawab dariku bagaimana harus ia redam rona
rindu itu.
Aku pun tak tahu. Malam itu, sebelum
ia datang ke mari – sesungguhnya aku baru saja mengelap ulang dinding hati,
yang basah oleh darah yang tak akan lesap, karena ada luka yang bersikeras
menyebut dirinya cinta.
Keesokkan harinya, kutemukan diriku
sendiri tembus pandang; dengan kawanku yang meraung dalam tangisnya bersama tubuhku
yang memucat dingin di pangkuannya.
*aku menulis ini sembari mendengar One - Ed Sheeran, liriknya membuatmu memutar-ulang tentang memahami cinta
0 Comments:
Post a Comment