Suatu waktu, aku diberi secarik
kertas oleh dosenku dan diminta membuat tulisan yang bercerita tentang kedua
orang tuaku. Mungkin beliau sedikit terkejut ketika kuberikan kembali kertas
itu, hanya singkat kutulis; Ayah adalah
Fajar, dan Ibu adalah Senja. Keduanya menyatu di langit yang indah. Melahirkan
pelangi yang mereka bilang adalah aku. Peran cinta dalam persamaan adalah
mengeratkan, tapi dalam perbedaan, cinta berarti menyatukan.
Menyapa Fajar
: seorang lelaki yang kupanggil Ayah
Hari ini, aku menggeser bangku ke
beranda rumahku. Di sana aku duduk cukup lama saat petang membelah langit
menjadi dua gradasi warna; jingga-emas, oranye-merah. Aku mendengar angin
bermain-main membawakan gurau canda dari sekumpulan anak-anak – aku tak tahu
apa yang tengah mereka mainkan hingga mampu menyampaikan pesan-pesan bahagia –
tapi lengking suara yang menunggang tawa itu menarikku ke memori lampau. Aku
melarikan mataku pada barisan awan yang saling menepi, di balik itu, samar aku
melihat layang-layang yang pernah berusaha kuterbangkan bersama seseorang.
Seseorang yang tiap sore seusai penatnya bergelung dengan kerjaan, menyempatkan
waktunya mengajakku berkeliling kompleks perumahan dan menceritakan banyak hal perihal
apapun yang kulihat, kutunjuk, dan kutanyakan. Lalu, malamnya sehabis
menghabiskan bercangkir-cangkir kafein dan bungkus tembakau, seseorang itu akan
menggendong tubuh mungilku dengan lengan besarnya, menemaniku bermain permainan
papan; mengalah demi mendengar tawaku, mencandai kebodohanku, dan merekam
kekonyolanku. Itu lebih dari sekadar kenangan, terlalu banyak dan tak terkata –
bagaimana harus kudeskripsikan seonggok peristiwa yang terasa begitu nyata
untuk dikatakan renta, karena hangatnya masih memelukmu kapan saja ketika gigil
datang. Ia adalah seseorang yang sederhana, yang pernah duduk di sebelahku pada
suatu malam dan bilang, jika ia menyayangiku – singkat saja. Tapi ia adalah
sejatinya potret tentang cinta. Kubisikkan padanya sederet kalimat dari bijak
yang paling kusuka; any man can be a
father. It takes someone special to be a dad. Dan, ia adalah seseorang yang
kupanggil Ayah. Sudahkah kita memeluk
Ayah hari ini dan menyadari jika punggung tangannya sudah berkerut dirayapi
waktu?
Mencium Senja
: seorang perempuan yang kupanggil Ibu
Aku pernah mendengar, jika kata
paling indah dalam bahasa Inggris bukanlah ‘love’, tapi ‘mother’. Saat itu, aku
tersenyum – mother, ibu, mama, mami, mom, bunda, emak, ambu, apapun
penyebutannya, selalu menjadi paling indah, karena ia menyimpan surga di
kakinya, dan memiliki kasih Tuhan di tiap sentuh tangannya. Karenanya, sulit
sekali untukku menguraikan bagaimana tatap matanya menyentuh langsung hatimu,
peluknya meluluhkan beku amarah yang bermukim dalam dirimu, pangkuannya
membuatmu memahami makna pulang sebenarnya. Aku ingat saat beliau menjadi koki
untukku yang memilih-milih makanan, yang menjadi badut saat aku menangis karena
hal-hal bodoh, yang menjadi suster saat aku sakit di pertengahan malam, yang
menjadi sahabat saat aku bosan dan ingin bermain, yang menjadi motivator saat
aku jatuh ke jurang, yang menjadi apapun dan siapapun saat dimanapun dan
kapanpun; seluruhnya menggumpal dalam seseorang yang kupanggil Ibu. Aku
teringat pada sebuah cerita yang mengisahkan tentang seseorang yang tumbuh
dewasa dan semakin ingin melepaskan diri dari sosok Ibunya – ia malu harus
dicereweti Ibunya, ditanyai sudah makan apa belum, pulang bersama siapa dan
remeh temeh lainnya – tapi ketika Ibunya tak lagi hadir untuk merecoki itu
semua, seseorang itu justru mengais-ngais sekali lagi bayang Ibunya. Dan,
Ibunya hidup sekali lagi untuk mengulang semua yang tak pernah jadi kenangan –
tapi selalu jadi nyata dalam ingatan. Aku kerap seperti itu; lelah dengan
ocehan beliau, letih mendengar cerewetnya yang begitu-begitu saja – namun, ada
satu waktu di tiap harinya, lewat ocehan yang sama berkali-kali, kamu akan
belajar satu hal tentang cinta. Bahwa, cinta adalah memberi, tentang orang lain
dan bukan diri sendiri. Itu bentuk kasih yang sepanjang masa. Sudahkah kita mengatakan cinta pada Ibu hari
ini dan menyadari rambutnya sudah memutih diringkus waktu?
Untuk
papa dan mama, yang senantiasa mengajarkan cinta dengan cara yang berbeda.
Selain
itu, tulisan ini kupersembahkan pada:
Seseorang
yang minggu ini pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarga tercintanya
Kawan
jauh yang tengah merantau ke kota untuk menuntaskan kuliahnya, dan pastinya
merindukan rumah
Teman-teman,
siapapun, yang aku tahu di tiap ibadah mereka, menyelipkan nama papa dan mama
di antara doa-doa terbaiknya
Selamat
hari bakti pada orang tua.
Sangat menyentuh.
ReplyDeletesaya tidak pernah membayangkan ada tulisan seperti ini.