Di ujung malam, pada sebuah ruang
yang tangan purnama tak bisa singgah atau menyelinap. Temui aku.
Ruang
kepalaku terus memutar ulang pesan singkat yang kubaca petang tadi. Sekarang,
saat malam sudah siap membisikkan rahasia-rahasianya pada mereka yang terjaga
demi menidurinya, aku mengajak seseorang yang berbentuk bayangan mirip aku di
balik cermin itu untuk beranjak pergi. Aku keluar rumah lengkap dengan polesan
yang kamu pinta agar ada di aku; gincu merah di bibir dan barisan kuku-kuku yang
sudah dicat merah.
Kau tahu, malam tampil perawan;
begitu menggoda untuk kulelapi bersama. Lihatlah rekata yang bagai biji matamu,
yang binar. Aku seperti ingin memetiknya, dan padamu; menciuminya lewat pejam
mata kita yang saling memeluk.
Langkah-langkah
kaki membawaku pada belokkan yang mengarah pada kompleks perumahan. Aku tahu,
pada jalan buntu di akhir perumahan ini, ada sebuah rumah dengan lampu menyala
yang menungguku – walau rumah-rumah lainnya sudah mati oleh geliat waktu malam
yang merangkak naik. Dan, tak ada terka yang hinggap di benakku sebelumnya jika
akan bertemu seorang kakek tua. Bertongkat, mengingatkanku pada janjimu; kita
akan sampai berjenggot dan berkursi roda.
“Kita
berdua tahu, kalian menjalin hubungan bukan secara storge yang teduh maupun
pragma yang berjalan melingkupi hari-hari.”
Aku
terkunci. Kalimat si sosok lelaki tua bertubuh renta, membungkuk seperti hendak
memberikan kepalanya untuk kupenggal. Aku melirik ke arahnya dengan gerak awan
hitam yang beramai-ramai memperkosa bulan dalam diam. Si kakek tersenyum lebar
untukku, memberikan deretan giginya yang sudah tanggal. Mengangguk kecil, aku
melanjutkan perjalananku. Menemuimu yang menunggu lama di sana, dikerubungi
sepi. Aku akan segera datang, sayang, mengusir sunyi yang meningkahimu. Aku
berkunjung untuk membawa bisik tenang selamat malam yang kamu tunggu segera
menyetubuhimu.
Lelatu pernah menjilati tubuh
langit. Lalu disertai suara berisik letupan, seperti malam mengerang. Lama-lama
padam jua – bagai desahan, menutup klimaks yang indah.
Kamu
tidak mengunci pintu. Seperti yang sudah-sudah kita berdua tahu. Itu undangan
khusus darimu. Aku menuntun diri sendiri menuju kamar yang pintunya sedikit
terbuka; ada kamu yang duduk di tepi ranjang dengan tembakau yang tinggal
setengah dan cangkir-cangkir kopi kosong. Kamu tersenyum puas ketika melihatku
mengenakan gaun malam merah yang kamu kirimkan bersama pesan petang tadi.
Senyum itu bergulir ke pipiku, lalu melekat kuat seperti cengkeraman di
leherku. Lantas senyum itu ada dimana-mana di tubuhmu; berusaha menyapa kulit
tubuhku yang tak memerah oleh gaun malam itu.
“Apa
kamu siap menggenapi permainan ini?” tanyamu. Aku lompat ke lenganmu yang
siap menangkapku, membuatmu rubuh ke atas lantai kamar yang dingin oleh bayang
kenang yang pahit. Bayang itu menyulap diri menjadi kaset rusak yang memutar
ulang terus-menerus sepotong peristiwa. Hendak mengingatkan. Dan, aku tak
pernah lupa. Kakek tua tadi ada bukan tanpa sengaja. Semesta tengah memberi
tanda. Bahaya.
“…tapi,
kamu bekerja dalam permainan, antara ludus dan eros. Aku di sini, hanya terlalu bodoh untuk percaya agape masih
ada; dalam dirimu.”
Kamu
mengerang keras. Seolah memanggil roh seseorang untuk bangkit dari makamnya.
Mungkin maksudmu, kamu tengah berusaha menyentuh anak kita yang sudah terkubur
di halaman belakang rumahmu; tanpa tubuh utuh kecuali gumpal kenyal darah.
Seperti kamu saat ini. Dan, tentang anak kita; kira-kira usianya saat ini sudah
satu tahun sebelum kamu bilang padaku ingin melahirkannya lagi; denganku.
Bulan memerah. Mencintaimu adalah
merah. Terbakar.
0 Comments:
Post a Comment