"…kamu akan punya dua pilihan, sejatinya seperti keadaan langit yang abu hasil lepasan senja dan ciuman awal malam.”
Kita menyeruak keluar dari tenda
hitam itu. Kamu tertawa, katamu ramalan tak bedanya dengan mimpi – yang usai sehabis
kamu terbangun. Tadi itu, kita hanya sejenak memasuki ‘ruang lain’ yang
diciptakan imaji si tukang ramal. Kamu mengamit kedua tanganmu, mengajakku
mengelilingi arena festival. Mencicipi kembang gula, dan makanan berwarna
lainnya. Tanpa kita tahu, diam-diam sampai sekarang, kalimat itu masih terekam
jelas, tersimpan di peti usang pada suatu tempat di kepalaku. Sebab, ramalan
itu benar.
Dua pilihan. Aku terus
mencari-carinya tentang apa itu. Sebulan lalu, mungkin aku menemukannya. Kita
menghadap kedua orang tuamu. Sejak awal kita bilang akan meniti jalan yang sama
mencapai apa yang orang-orang bilang rumah selamanya, kita sudah ada di petak yang
gelap. Mungkin di gang-gang kecil yang hanya bertemankan lolongan anjing
kelaparan, lampu oranye yang hampir putus gantungannya, dan sebuah tong yang
menampung sampah-sampah berserakkan menciumi jalan. Benar saja, kita
menghadapinya di kedua mata orang tuamu. Setelahnya kamu gamang – samar aku
mendengar kecamuk benakmu yang mengulang teriakan Bapakmu soal pilihan;
keluargamu ataukah aku.
Dua pilihan. Aku kerap
mengais-ngaisnya tentang apa itu. Seminggu lalu, aku kira sudah menemukannya.
Kamu pekerja yang hebat; perpaduan antara keras dan cerdas. Kompilasi antara
mengarungi malam dan mengejar fajar. Kamu katakan padaku kesabaran itu seperti
kita melangkahkan kaki kanan dan kaki kiri menunggu gilirannya – sesederhana itu.
Lalu kamu kabarkan jika hal itu yang kamu lakukan selama kamu mendaki gunung.
Kamu memberi sabar dalam perjuanganmu yang bertangga, bukan elevator. Kamu
berhak untuk menancapkan bendera kemenangan, dan berpindah ke gunung lain yang
lebih menantang. Setelahnya kamu bimbang – sayup aku mendengar bisingnya kepalamu
dipenuhi ucap selamat dari atasanmu soal pilihan; pekerjaanmu ataukah aku.
Dua pilihan. Aku selalu menggenangi
diri tentang apa itu, sebab ini mengenaimu. Karena kata ‘dua’ di sana tidak berarti
aku dan kamu, atau kamu dan aku. Tidak sesederhana aku. Sehari lalu, aku
benar-benar menemukannya. Kulihat siluet bayang seseorang dari balik gorden
jendela ruang kerjamu yang berwarna vanilla. Siluet bayang itu hampir
menyerupai aku. Tapi aku tahu, kamu tak mungkin membuat patung lilin. Belum
lagi saat bayang itu bergerak dan merangkak ke atas meja kerjamu. Setelahnya terdengar
bisik, tawa pelan, dan diam-diam hanya menyisa suara nafas.
Aku membuka pintu ruang kerjamu, dan
kudapati kamu sendiri. Tapi, dengan satu
manik mata yang memantulkan bayang diriku, dan satunya lagi bayang lain bukan
aku.
Itu dua pilihanmu.
0 Comments:
Post a Comment