Perempuan itu mengenakan kemeja dan
rok selutut hitam. Tangan mungilnya memegangi payung terbuka yang juga sewarna
malam. Hari itu tidak mendung, siang justru hadir dengan seragam lengkapnya;
terik panas dan nyalangnya cahaya matahari. Tapi, gelap yang melarut dan sudah
lama membangun rumah, seakan bertandang di wajah perempuan itu. Ia melangkah di
bahu jalan; di antara lalu lalang kendaraan yang melintas cepat. Senyum merekah
di ranum bibirnya – satu-satunya yang tidak menghitam – ketika melewati sebuah
rumah sakit, lalu pemakaman di ujung jalan. Ia berhenti sejenak, mengatupkan
kedua telapak tangannya, mengamitkan jari jemarinya; berdoa panjang. Hari itu,
tanggal kekasihnya tidur selamanya dan bilang akan mencintainya dari jarak yang
ribuan tahun cahaya*. Ia tidak mendoakan kekasihnya, ia justru mengirim
bait-bait angan terbaik untuk orang-orang asing yang terbaring sakit di sana
dan terkubur di dalam. Karena, apapun yang baik yang berusaha ia lakukan;
segalanya adalah bentuk doa lain bagi seseorang yang mengajarkannya menemukan
cinta dalam doa tiap harinya. Kita berdua tahu, apa yang membuat sepotong
bibirnya tetap ranum dan melengkungkan pelangi.
*
Wanita paruh baya itu menghitung
receh rupiah yang bersuara gemerincing berisik di saku celana kainnya yang
hampir bolong. Peluh keringat berlarian di kening kepalanya yang terbakar oleh
sengat matahari, tapi ia tak peduli. Ia masih sibuk menjumlahkan rupiah yang
berhasil ia dapati setelah menukarnya dengan berat sampah plastik. Wajahnya
tersenyum ketika mendapati angkanya. Nominalnya cukup untuk banyak hal yang
dibutuhkannya untuk segera teraih; membeli kain, benang dan jarum jahit baru
karena banyak pakaiannya yang harus ditambal, sekilo beras lagi – karena di
gubuknya hanya tersisa sepiring nasi yang hanya cukup untuk satu orang,
sedangkan satu anaknya pastilah kelaparan, membayar hutang minyak tanah ke warung
Bik Ijah, atau membeli sepotong paha ayam yang jadi impian anaknya. Wanita itu
gamang – ia harus memilih satu di antara banyak pilihannya untuk membelanjakan
rupiah itu. Dan malam itu, ia pulang dengan sepotong paham ayam krispi yang ia
beli di pinggir jalan. Anak satu-satunya itu menyambutnya dengan semringah –
sudah sebulan lebih ia tak memakan daging favoritnya. Mereka berdua berkumpul
di ruang tengah yang merangkap ruang tidur dan tempat makan. Si anak memakan
lahap nasi di piringnya dengan potong ayam itu. Saat ditanya mengapa ibunya
tidak makan, ibunya – yang wanita paruh baya itu – menjawab penuh sederhana; ia
sudah makan di jalan tadi, dan ia tidak terlalu menyukai ayam*. Jadi piring nasi
itu dan sepotong ayam itu biarlah si anak yang menghabiskannya. Si anak pun
mengangguk. Si ibu tersenyum, sembari bergelung dalam tidur. Kita berdua tahu,
si ibu berbohong.
*
Aku mengatupkan buku yang tengah
kubaca – itu buku tebal dan besar yang memperkenalkanku tentang Agape. Dan, dua kisah di atas adalah
yang sepintas terlintas di kepalaku ketika memahami makna kata itu. Dibilang
jika enam siklus cinta yang ada, adalah agape yang ada di urutan terakhir –
yang begitu murni dan suci, hampir tak dimiliki oleh seorang manusia kecuali
Tuhan, Buddha, Yesus, para nabi, dan lainnya. Aku menutup buku itu dengan
perasaan terganggu yang mengusik; karena aku hampir menemukan agape dalam
kehidupan sehari-hari. Kita mungkin tidak pernah benar-benar ikhlas, kita selalu
punya imbalan-imbalan yang secara tak langsung kita harapkan pulang. Karenanya
kita tidak tumbuh dengan sempurna – tidak seutuh dan sepenuh Tuhan. Tapi, itu
yang membuat agape hadir. Kita lahir dari rahim Tuhan, kita adalah anak-anaknya
– kita mewarisi beberapa sifat Tuhan, yang salah satunya adalah cinta, yang
berjenis agape. Itu menjelaskan mengapa seorang Ibu punya kasih sepanjang masa,
seorang kekasih adalah tulang rusuk bagi kekasihnya, seorang Ayah yang menjelma
pahlawan, seorang sahabat yang ada dimana-mana, dan bahkan seorang asing yang
tiba-tiba membantu ketika kita terjebak di antara keadaan tak terduga. Itu
adalah cinta yang tak tereja, tak menanti untuk terbalas, atau terjawab; itu
adalah cinta yang hadir bersama tangan Tuhan. Agape.
Kisah
ini sengaja kutulis untuk seseorang yang tak tahu harus bagaimana mengomentari
kisah ‘Eros’ yang kutulis; yang menganggu malamnya. Dan, orang yang sama, yang
bilang hitam tak semenarik merah – di Agape, hitam yang kumainkan. Untuknya; selamat
menemukan agape dalam hari-harimu.
*kalimat ini terinspirasi dari novel 'surat panjang tentang jarak kita yang ribuan tahun cahaya' karya Dewi Kharisma Michellia
*kisah si ayam dan ibu ini terinspirasi dari salah satu cerpen karya Dee, yang aku lupa judulnya
0 Comments:
Post a Comment