Friday, 24 April 2015

Yang (Masih) Tertinggal di Ruang Kelas


Siang-siangku kerap dihabiskan dengan sederhana; aku melalui jalan yang sama, menyinggahi rutinitas hari yang mengulang, dan berakhir pada rumah. Tapi, siang itu – ketika terik masih mengusik letih seperti biasa-biasa, aku melirik pada sebuah belokkan yang akan menuntunku kembali pada sebuah gedung sekolah jika aku meniti langkah pada jalan panjang di belokkan itu. Lagi-lagi, rasanya sudah lama sekali, setelah aku menanam kenangan selama tiga tahun di sana, dan merapikannya setiap hari. 
 “…kira-kira, kapan terakhir kalinya kamu kembali ke sekolahmu dan mengatakan rindu pada guru-guru?” Suatu waktu, pertanyaan itu menelisikku, ada banyak kenangan yang tak terurus, yang teronggok begitu saja kubiarkan dimakan waktu. Lalu, lama-lama usang, hingga aku hanya bisa meraba-raba kelebat bayangnya. Dan perlahan, itu bisa menyiksa.
Pada siang yang sama, ada sapaan senyum yang dilempar seseorang di tepian jalan. Samar, aku mengenalinya sebagai guruku. Itu senyum hangat yang memeluk; minta aku untuk pulang, sekadar bercengrama sekali lagi tentang aku yang dulu selalu duduk di bangku kayu urutan kedua dari depan, menjawab soal-soal di kertas bagaikan mengarang cerita, paling menyukai nasi goreng kantin lengkap dengan segelas teh bercampur susu, melontarkan ide-ide di kantor guru, murid yang langsung pulang ke rumah sehabis bel usai pelajaran berbunyi, menjadi sasaran empuk untuk ditanyai jawaban saat ujian, bercurhat ria di toilet sekolah, dan yang menangis saat kejutan ulang tahun dari rekan-rekan kelas. Aku terkesiap, nyatanya ingatan itu masih begitu segar terjaga.
“…sekali-kali main dong ke sini.”
Aku melempar tas ke sembarang sudut di kamar; ada resah yang memburu. Lintasan bayangan tentang pesan-pesan singkat yang kerap kutukar bersama guru-guruku, menyuarakan satu hal sama; bermainlah sejenak ke tempat aku dulu pernah menyemai cinta dan menimba kenang. Semesta seakan memanggil-manggilku. Siang yang sama, yang belum habis, aku mengurung diri di kamar berpendingin, membuka halaman-halaman majalah edisi terbaru yang selalu dipastikan ada di lemari buku aku – yang sebentar lagi rubuh saking berat beban buku yang ditanggungnya, membahas mengenai hari kelulusan dan persiapan pesta prom. Aku tertawa; lirih dan menutup lembar majalah itu. Sebab, tiap kalimat yang tercetak berisi hal-hal apa saja yang akan kamu rindukan dari kehidupan sekolah, apa yang akan kamu lakukan untuk persiapan pesta perpisahan, dan buku tahunan. Bagaimana jika kubilang, pada sepotong siang itu, aku tengah dihajar kenangan?
“…kapan kita foto bareng lagi dengan seragam SMA?”  
Sebuah komentar di akun instagramku yang kuterima malam itu, dari seorang adik kelasku yang masih saja mengingatku. Nyatanya hari itu ia tengah meniti lembar potretnya denganku. Ada banyak sekali rindu yang minta aku hadir untuk menggenapinya. Dan, karenanya, aku menggantung angan, tulisan ini mampu menyentuh kamu, yang selalu mempunyai ruang di hatiku; guru-guruku, teman-teman kelas, sahabat-sahabat khususnya di sekolah tempat aku pernah ada. Aku mencintai kalian, dan akan segera mengatur waktu temu. Salam rindu.

0 Comments:

Post a Comment