Siang-siangku
kerap dihabiskan dengan sederhana; aku melalui jalan yang sama, menyinggahi
rutinitas hari yang mengulang, dan berakhir pada rumah. Tapi, siang itu –
ketika terik masih mengusik letih seperti biasa-biasa, aku melirik pada sebuah
belokkan yang akan menuntunku kembali pada sebuah gedung sekolah jika aku
meniti langkah pada jalan panjang di belokkan itu. Lagi-lagi, rasanya sudah
lama sekali, setelah aku menanam kenangan selama tiga tahun di sana, dan
merapikannya setiap hari.
“…kira-kira, kapan terakhir kalinya
kamu kembali ke sekolahmu dan mengatakan rindu pada guru-guru?” Suatu
waktu, pertanyaan itu menelisikku, ada banyak kenangan yang tak terurus, yang
teronggok begitu saja kubiarkan dimakan waktu. Lalu, lama-lama usang, hingga
aku hanya bisa meraba-raba kelebat bayangnya. Dan perlahan, itu bisa menyiksa.
Pada
siang yang sama, ada sapaan senyum yang dilempar seseorang di tepian jalan.
Samar, aku mengenalinya sebagai guruku. Itu senyum hangat yang memeluk; minta
aku untuk pulang, sekadar bercengrama sekali lagi tentang aku yang dulu selalu
duduk di bangku kayu urutan kedua dari depan, menjawab soal-soal di kertas
bagaikan mengarang cerita, paling menyukai nasi goreng kantin lengkap dengan
segelas teh bercampur susu, melontarkan ide-ide di kantor guru, murid yang
langsung pulang ke rumah sehabis bel usai pelajaran berbunyi, menjadi sasaran
empuk untuk ditanyai jawaban saat ujian, bercurhat ria di toilet sekolah, dan
yang menangis saat kejutan ulang tahun dari rekan-rekan kelas. Aku terkesiap,
nyatanya ingatan itu masih begitu segar terjaga.
“…sekali-kali main dong ke sini.”
Aku
melempar tas ke sembarang sudut di kamar; ada resah yang memburu. Lintasan
bayangan tentang pesan-pesan singkat yang kerap kutukar bersama guru-guruku,
menyuarakan satu hal sama; bermainlah sejenak ke tempat aku dulu pernah
menyemai cinta dan menimba kenang. Semesta seakan memanggil-manggilku. Siang
yang sama, yang belum habis, aku mengurung diri di kamar berpendingin, membuka
halaman-halaman majalah edisi terbaru yang selalu dipastikan ada di lemari buku
aku – yang sebentar lagi rubuh saking berat beban buku yang ditanggungnya,
membahas mengenai hari kelulusan dan persiapan pesta prom. Aku tertawa; lirih
dan menutup lembar majalah itu. Sebab, tiap kalimat yang tercetak berisi
hal-hal apa saja yang akan kamu rindukan dari kehidupan sekolah, apa yang akan
kamu lakukan untuk persiapan pesta perpisahan, dan buku tahunan. Bagaimana jika
kubilang, pada sepotong siang itu, aku tengah dihajar kenangan?
“…kapan kita foto bareng lagi
dengan seragam SMA?”
Sebuah
komentar di akun instagramku yang kuterima malam itu, dari seorang adik kelasku
yang masih saja mengingatku. Nyatanya hari itu ia tengah meniti lembar
potretnya denganku. Ada banyak sekali rindu yang minta aku hadir untuk
menggenapinya. Dan, karenanya, aku menggantung angan, tulisan ini mampu
menyentuh kamu, yang selalu mempunyai ruang di hatiku; guru-guruku, teman-teman
kelas, sahabat-sahabat khususnya di sekolah tempat aku pernah ada. Aku
mencintai kalian, dan akan segera mengatur waktu temu. Salam rindu.
0 Comments:
Post a Comment