Kemarin
hari buku. Kamu bilang padaku sembari tertawa, bagaimana jika kamu adalah buku.
Bab mana yang paling kusukai, jenis buku apakah kamu, konflik seperti apa yang
mungkin terjadi, cerita yang dimulai darimana, dan bagaimana kisah itu
berakhir. Aku mengatupkan buku. Berusaha mencari-cari matamu, membisikkan hal
yang mungkin tak kamu tahu; selama ini, kamu adalah buku itu sendiri; yang tak
pernah usai kubaca. Lalu, aku membuka acak lembar buku yang adalah kamu.
Kamu;
adalah buku lama yang sudah menguning di sisi-sisinya, bahkan ada beberapa
sobekan atau lipatan pada lembar halaman tertentu. Kavernya bahkan sudah
sedikit buram oleh waktu, dan punggung bukunya sudah sedikit rusak dimakan
rayap. Juga, pada beberapa bab penting, ada bekas noda kopi yang tertumpah atau
jejak air mata yang mengering. Untukku, kamu adalah buku yang seperti itu.
Kamu;
bukanlah buku yang selalu kubaca menjelang tidur atau membuka pagi. Kamu ialah
buku yang yang tidak terlalu tebal, yang selalu ada di tiap tas kegiatanku
setiap harinya – kadang terbaca, kadang tidak. Bagiku, kamu adalah buku yang
seperti itu.
Kamu;
ialah buku yang akan dipertimbangkan untuk menghuni gudang atau kardus yang
siap diloakkan. Atau sebagai ganjalan pintu
atau bangku tua yang berderit. Menurutku, kamu adalah buku yang seperti
itu.
Kamu
yang masih disibukkan dengan berbuku-buku kerjaan, menengokku dengan tidak
bersemangat. Seburuk itukah kamu jika diibaratkan sebagai buku di mataku? Hari
itu senja, dan aku beringsut dari balik timbunan buku, menghampirimu. Mata
malam milikmu menghampiriku, lantas kujelaskan ini padamu;
Aku
selalu menyukai buku lama yang sudah renta oleh zaman. Karena ia adalah jenis
buku yang paling dicari, yang keberadaannya tak lagi di rak-rak toko buku
ternama. Menemukannya adalah perjuangan; jika tak ada di toko buku virtual,
berarti ia tersimpan dan terawat di museum bahasa atau sastra, atau di
perpustakaan kolektor buku, atau mungkin di rak buku salah seorang kutu buku.
Dan, memilikinya adalah pengorbanan. Itu adalah kamu, sebuah buku yang
istimewa.
Aku
memiliki buku favorit, tidak terlalu tebal. Namun, aku membutuhkan waktu lama untuk
menghabiskannya. Karena aku takut membacanya terlalu cepat, dan ceritanya usai.
Aku hanya ingin buku itu ada menemaniku pergi ke manapun, karena buku itu
membantuku membunuh waktu, mengusir bosan, dan bersamaku melakukan banyak hal
lainnya di senggang dan luangnya aku. Aku tak ingin ada kata ‘epilog’ yang
kubaca dari buku itu; aku ingin cerita itu terus berlanjut. Ini adalah jawaban
ketika kamu bilang cerita seperti apa dirimu saat menjadi buku. Kamu akan
menjelma cerita yang tak pernah ingin selesai kubaca, kamu terlalu menarik
untuk diakhiri.
Tapi,
selalu ada buku yang mewakili kenangan. Seperti kenangan, lebih baik ia
bermukim tetap di masa lalu dan tak kembali. Tempat bagi kenangan yang
menyerang adalah gudang tua yang terkunci. Itu juga adalah kamu; tentang
bayangmu yang berusaha kuusir pergi di tiap mimpi, tentang namamu yang berusaha
kuhapus tiap tereja, dan tentang kamu yang berusaha kulepas tiap permainanmu
dimulai. Layaknya setumpuk buku yang ingin kubuang; tak pernah terjadi, karena buku-buku
itu mengingatkanku pada luka yang masih saja kupelihara.
Kamu
diam, membiarkan kita berdua menjadi bisu layaknya buku-buku. Dan, jika itu
adalah bisu yang seperti buku, berarti bisu itu bercerita, mungkin tentang
kita, atau juga bukan. Mungkin akan kuakhiri dengan kalimat yang paling sering
kita temukan pada buku-buku cinta yang menggalau ria; kamu adalah yang kerap aku tulis, dan aku adalah yang tak kamu baca.
0 Comments:
Post a Comment