Pada sebuah petang yang terasa asing
– karena jingga yang harusnya singgah sejenak, justru menguning, aku menemukan
kalimat ini di kepalaku; “…puisi adalah
tempat paling hening bagi cinta untuk sembunyi.” Aku rasa, itu yang
menerbitkan tanya pertamaku padamu:
…jadi,
sampai kapan cinta memilih sembunyi?
Tanpa kamu tahu, pertanyaan ini muncul
pada satu di antara banyak puisi yang diam-diam kutulis; dan tak pernah
terkirim. Aku pernah bilang padamu, aku bukan penyair – karenanya tidak
selamanya tulisanku mampu berbunyi, ia justru pandai bersembunyi. Tapi mengapa
harus puisi? Karena, rasa ini adalah puisi*.
Lalu kamu bisikkan padaku pada
waktu-waktu letih, langit punya jawabannya. Saat kudongakkan kepala pada payung
biru berluaskan cakrawala itu, aku hanya menemukan kosong – segala yang menarik
telah habis dipinang olehmu. Itu mengingatkanku pada menanti; tak pernah
terlalu cepat atau terlambat, selalu ada waktu yang tepat untuk rasa yang siap
tertambat.
…jadi,
walau hanya bayangan yang hadir mengiringi malam?
Itu pertanyaan kedua, darimu;
setelah kubilang, kamu adalah yang menjelma bayang pada malam aku memejamkan
mata, dan yang teringat ketika pagi aku terjaga. Dan, pertanyaan sederhana yang
paling menarik di antara pertanyaan-pertanyaanmu yang membentuk cerita-ceritaku.
Apa yang terlintas di kepalamu untuk kata ‘bayangan’?
Aku pernah membaca cerita pendek
tentang seorang perempuan yang mencintai lelakinya yang sudah tiada –
hari-harinya hanya dipenuhi hadir bayangan si lelaki lewat bau tubuhnya yang
menyisa di antara pakaian-pakaiannya, rutinitas di rumah, dan banyak lainya
yang melekat pada kehilangan, tapi tidak si bayangan. Sampai akhirnya, si
perempuan melukis tubuhnya sendiri – lukisan seseorang yang dicintainya dan
menjadi gila. Begitu mengerikannya sebuah bayangan. Lagipula, bayangan kerap
menakutkan, itu frasa yang sering dipakai oleh anak-anak untuk melukiskan
hantu-hantu. Ataukah, justru bayangan adalah keindahan; karena ia menunjukkan
kamu hidup. Karena ia menapak setia kemanapun kamu pergi, serta memastikanmu
akan keberadaan cahaya. Tak peduli bayangan itu berumah pada kenangan, atau
pula kesedihan. Ia selalu punya cerita – yang bagiku, itu berarti kamu.
…suatu
malam, aku bermimpi tentang perempuan yang menangis. Lalu kamu bilang, kamu
mengalami sejumlah mimpi buruk. Mungkinkah itu kamu?
Pertanyaan terakhir, lagi-lagi
darimu. Kujawab; mungkin saja itu aku, mungkin saja itu perempuan lain, mungkin
saja itu karakter permainan, mungkin saja itu tokoh khayalan. Tapi, mungkin
saja itu memang aku, yang berusaha menyapamu – menyampaikan rindu-rindu.
*ada
sebuah gambar mengenai ‘understand poetry’, yang mungkin bisa menjelaskan ini,
kamu bisa menghubungiku
0 Comments:
Post a Comment