Saturday, 11 April 2015

Tentang Mimpi Buruk yang Kerap Datang di Tiap Malamku


Kukira, kejadian itu berakhir sekitar beberapa tahun lalu, setelah kupastikan segalanya akan baik-baik saja – aku akan membayangkan hal-hal baik, membaca buku untuk mendongengkan diri sendiri, dan tidak mengingat waktu lampau; sebelum tidur. Nyatanya tidak, terkadang kejadian itu masih hadir dalam bentuk bayang gelap, yang diam-diam menyelinap ke balik bawah bantalku, menjelma mimpi-mimpi burukku. Tiga malam terakhir; aku sudah cukup lelah terjaga hingga pukul satu pagi lewat yang begitu pucat dan muram. Tapi, ia masih saja ada. Tak beranjak pergi, dan malam itu, aku menangis di sudut kamar ketika yang kudengar dalam sunyi hanyalah dengkur lelap orang-orang tertidur, derik jangkrik, dan volume rendah musik dari radio yang diputar oleh pos ronda di belakang rumah. Sendiri.
Kuambil ponselku, menghubungi seseorang sebelum malam benar-benar buta. Aku katakan padanya, “…aku butuh ketidakbahagiaan untuk tahu jika kebahagiaan masih ada. Kau tahu, aku pernah mengatakan pada seorang lelaki di sebuah senja menjelang hadirnya purnama, aku ingin menyerap ketidakbahagiaan mereka yang aku cintai, agar mereka bisa bahagia dan itu membuatku bahagia.” Namun, aku tahu, aku hanya tengah menghibur diri, karena yang kurasakan hanyalah nyeri – yang membuatku tetap terbangun hingga jendela kamar mulai dimasuki berkas-berkas cahaya subuh.
Kurasa, aku tahu penyebab suatu hari aku terbangun dan mendapati dadaku sesak. Setiap aku mengambil nafas, ada yang mencengkeram seakan bilang; “…apakah benar, kau masih ingin bernafas? Jika iya, kapan terakhir kali kau berterima kasih untuk ini?”. Mungkin karena aku kerap menangisi hal yang sama tiap malam melarut dan membiru; mempertanyakan aku, membiarkan diri dihabisi sepi, mengizinkan kelebat masa lalu mengoyak hati, dan membebaskan kepala untuk terus membunuh diri sendiri. Kadang, aku berangan, ada setidaknya siapapun yang terjaga di sampingku atau di seberang sana untuk memastikan jika aku tidak sendiri menghadapi mimpi-mimpi yang kerap mengusik oleh pikiran yang terus bersisik, nyatanya tak ada siapapun kecuali kehadiran sepi. Menyakitkan, tapi aku mengalaminya hampir setiap malam; dan itu mengerikan – membuatku teringat kematian Hemingway, Poe, Woolf, dan lainnya. 
 Kutahu, kamu tak mengerti kejadian apa yang kumaksud yang menghantuiku – yang membuat tiap pejaman mataku, aku seolah melihat monster seram yang kupelihara di ruang kepalaku, yang menciptakan mata bengkak, yang mendorongku menjerit meminta hadirnya dokter jiwa. Sesungguhnya, kejadian itu seperti kompilasi album musik yang melagukan duka yang begitu maha karena luka. Layaknya kompilasi, ia tidak hanya berdiri sendiri atau satu, ada banyak – terhimpun dari kerja sama kenangan buruk, kesalahan-kesalahan sekarang, dan kekhawatiran akan apa yang datang. Dan, bersama-sama membunuhku sepanjang malam – beruntungnya, aku masih hidup, dan berusaha mencintai selagi segalanya masih bisa diatasi dengan tawa. Maafkan aku karena terus menjadi yang mengesalkan dan putus asa.
Kita tak tahu, mungkin si aku yang tengah bercerita di atas tadi adalah seorang perempuan yang setiap harinya kamu temui dibungkus senyum, melontarkan cerita-cerita di perbincangan kantin yang ringan, dan yang biasanya kamu ajak diskusi berbagai hal. Tapi tak pernah kita sadari, tiap malamnya mungkin ia bertahan untuk memastikan besoknya ia masih terbangun tanpa bekas lebam di wajahnya atau sisa air matanya yang masih tertinggal. Atau itu juga alasan mengapa, ia takut pada dingin; itu seperti setubuh antara sendiri, tidak peduli, dan sepi – dan ia selalu membawa jaket untuk mengusirnya.
Untuk kamu, jangan lupa bahagia hari ini. Karena, ketika yang lain bilang kamu tidak ada apa-apanya, ketahuilah, di sini ada aku yang melihat apa yang tak mereka lihat dari spesialnya dirimu; aku mencintaimu.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment