Kukira,
kejadian itu berakhir sekitar beberapa tahun lalu, setelah kupastikan segalanya
akan baik-baik saja – aku akan membayangkan hal-hal baik, membaca buku untuk
mendongengkan diri sendiri, dan tidak mengingat waktu lampau; sebelum tidur.
Nyatanya tidak, terkadang kejadian itu masih hadir dalam bentuk bayang gelap,
yang diam-diam menyelinap ke balik bawah bantalku, menjelma mimpi-mimpi
burukku. Tiga malam terakhir; aku sudah cukup lelah terjaga hingga pukul satu
pagi lewat yang begitu pucat dan muram. Tapi, ia masih saja ada. Tak beranjak
pergi, dan malam itu, aku menangis di sudut kamar ketika yang kudengar dalam
sunyi hanyalah dengkur lelap orang-orang tertidur, derik jangkrik, dan volume
rendah musik dari radio yang diputar oleh pos ronda di belakang rumah. Sendiri.
Kuambil
ponselku, menghubungi seseorang sebelum malam benar-benar buta. Aku katakan
padanya, “…aku butuh ketidakbahagiaan
untuk tahu jika kebahagiaan masih ada. Kau tahu, aku pernah mengatakan pada
seorang lelaki di sebuah senja menjelang hadirnya purnama, aku ingin menyerap
ketidakbahagiaan mereka yang aku cintai, agar mereka bisa bahagia dan itu
membuatku bahagia.” Namun, aku tahu, aku hanya tengah menghibur diri,
karena yang kurasakan hanyalah nyeri – yang membuatku tetap terbangun hingga
jendela kamar mulai dimasuki berkas-berkas cahaya subuh.
Kurasa,
aku tahu penyebab suatu hari aku terbangun dan mendapati dadaku sesak. Setiap
aku mengambil nafas, ada yang mencengkeram seakan bilang; “…apakah benar, kau masih ingin bernafas? Jika iya, kapan terakhir kali
kau berterima kasih untuk ini?”. Mungkin karena aku kerap menangisi hal
yang sama tiap malam melarut dan membiru; mempertanyakan aku, membiarkan diri
dihabisi sepi, mengizinkan kelebat masa lalu mengoyak hati, dan membebaskan
kepala untuk terus membunuh diri sendiri. Kadang, aku berangan, ada setidaknya
siapapun yang terjaga di sampingku atau di seberang sana untuk memastikan jika
aku tidak sendiri menghadapi mimpi-mimpi yang kerap mengusik oleh pikiran yang
terus bersisik, nyatanya tak ada siapapun kecuali kehadiran sepi. Menyakitkan,
tapi aku mengalaminya hampir setiap malam; dan itu mengerikan – membuatku
teringat kematian Hemingway, Poe, Woolf, dan lainnya.
Kutahu,
kamu tak mengerti kejadian apa yang kumaksud yang menghantuiku – yang membuat
tiap pejaman mataku, aku seolah melihat monster seram yang kupelihara di ruang
kepalaku, yang menciptakan mata bengkak, yang mendorongku menjerit meminta
hadirnya dokter jiwa. Sesungguhnya, kejadian itu seperti kompilasi album musik
yang melagukan duka yang begitu maha karena luka. Layaknya kompilasi, ia tidak
hanya berdiri sendiri atau satu, ada banyak – terhimpun dari kerja sama
kenangan buruk, kesalahan-kesalahan sekarang, dan kekhawatiran akan apa yang
datang. Dan, bersama-sama membunuhku sepanjang malam – beruntungnya, aku masih
hidup, dan berusaha mencintai selagi segalanya masih bisa diatasi dengan tawa. Maafkan
aku karena terus menjadi yang mengesalkan dan putus asa.
Kita
tak tahu, mungkin si aku yang tengah bercerita di atas tadi adalah seorang
perempuan yang setiap harinya kamu temui dibungkus senyum, melontarkan
cerita-cerita di perbincangan kantin yang ringan, dan yang biasanya kamu ajak
diskusi berbagai hal. Tapi tak pernah kita sadari, tiap malamnya mungkin ia
bertahan untuk memastikan besoknya ia masih terbangun tanpa bekas lebam di
wajahnya atau sisa air matanya yang masih tertinggal. Atau itu juga alasan
mengapa, ia takut pada dingin; itu seperti setubuh antara sendiri, tidak peduli,
dan sepi – dan ia selalu membawa jaket untuk mengusirnya.
Untuk kamu, jangan lupa bahagia
hari ini. Karena, ketika yang lain bilang kamu tidak ada apa-apanya,
ketahuilah, di sini ada aku yang melihat apa yang tak mereka lihat dari
spesialnya dirimu; aku mencintaimu.
0 Comments:
Post a Comment