Katanya,
kemarin aku mengobrolkan tentang cinta, lalu berbicara mengenai rindu. Lantas,
mengapa sekarang aku membincangkan luka. Kamu bertanya, sesungguhnya apa yang
hendak aku kisahkan. Aku mematung, mungkin kamu lupa, di balik rindu yang
berusaha terus-menerus merawat cinta, di situ sudah tumbuh luka yang diam-diam.
Aku
menemukan luka, hampir di tiap cerita yang kubaca. Dan, semakin banyak luka
yang membekas jadi lebam, ketika itu mampir di cerita cinta. Sebagian besar
luka itu menyulap diri jadi kenangan, rindu, waktu tunggu, angan, harapan,
kunang-kunang, senja, hujan, purnama, pelangi, dan lain-lain. Tapi, ia lebih
sering mengubah diri menjadi kamu.
Baiklah,
aku bisa memberimu banyak buku yang menceritakan kisah apapun dan akhirnya ada
luka yang menyelinap di antaranya, atau bahkan menjadikan luka sebagai akhir
ceritanya. Aku pula bisa mengatakan padamu beribu curahan hati yang menyinggung
luka, biasanya disertai air mata, erangan pilu, isak yang mengiris kalbu. Tak
jauh-jauh dari memainkan hati, rahasia, dan waktu.
Namun,
luka yang kutangisi di ujung malam saat aku melihat ada kelebat senja, terasa
janggal. Aku mungkin akan luka, ketika kamu memilih seseorang lain bukan aku;
tapi itu bukan luka yang membunuhku. Aku mungkin akan lebam, ketika kamu
mengatakan kita hanya sebatas tatapan punggung saja, bisu dan tak saling
menatap; tapi itu bukan lebam yang selamanya. Aku akan benar-benar luka, saat
tahu kamu terluka karena bersamaku hanyalah memanen luka.
Aku
pernah bilang, jika aku kerap melihat luka pada rasa yang bersikeras menyebut
dirinya cinta. Karenanya, cinta dan luka sesungguhnya adalah teman akrab. Ketika
aku memutuskan mencintaimu setiap harinya tanpa kamu tahu, sesering itulah aku
menyapa luka. Mungkinkah jika luka tumbuh subur karena dirawat oleh cinta, kamu
tergelak dalam tawa.
Hari
ini aku bangun dengan sejuta rasa akan luka, terus bertanya apakah kamu bahagia
hari ini, sudahkah kamu tersenyum, benarkah semuanya baik-baik saja, dan
mungkinkah tiadanya aku adalah alasanmu menjalani hari tanpa luka? Aku membiarkan diri dilumat tanda tanya,
bimbang yang menimbang, dan keraguan tak berkesudahan. Katanya, aku bisa
mengakhiri luka ini dengan mudah; berhenti mencinta. Tapi, bukankah setiap
orang lebih memilih meniti luka dibanding meninggalkan cinta?
Hai, masih ingatkah pertama kita
bertemu? Saat matamu bilang, cinta adalah metafora dari luka. Dan aku
menyetujuinya. Kisah dongeng selalu bagus karena berakhir bahagia. Sedangkan
kita tak pernah tahu jalan cerita kita seperti apa. Tapi dongeng adalah cerita
yang ditulis manusia, dan cerita kita ditulis oleh Tuhan, itu lebih istimewa. Terima
kasih untuk luka-luka yang ada; sebab itu merangkai cinta.
0 Comments:
Post a Comment