“…malam
itu aku duduk di balik jendela yang membingkai sore pertama pertemuan kita;
ketika kita saling menyulap secangkir teh menjadi cerita-cerita yang
mengejutkan – dan mungkin juga, itu awal rasa lainnya diam-diam merayap,
menguat, lalu menyengat. Al, dan itu terjadi hingga sekarang, pada gerak jarum
jam yang menyuarakan setia.”
Al,
apa kalimat ini pernah melintas sepintas di benakmu; jika cinta membutuhkan
jarak, bukan sebagai pertanda pisah, tapi untuk menguji ketabahan mereka yang
jatuh di dalamnya. Dan, pada minggu-minggu tanpa kamu, aku menggambarkannya
seperti ini; waktu terus berjalan menjadi
lembar-lembar lalu, dan rindu ini masih menunggu, mencipta dada yang penuh
guruh. Sebab ada rasa ingin bertemu yang bertalu-talu. Kamu utuhnya yang
menerbitkan riak-riak rindu, gejolak rasa yang riuh, dan bahkan menjadikan
hening begitu menggulung; kamu bukan hanya membuatku jatuh berkali-kali pada
rasa yang terus memburu, kamu membunuhku – lewat suara dan matamu yang jadi
hantu di tiap mimpi-mimpiku.
Namun,
Al. Ini bukan kisah dongeng saat segalanya dipastikan berakhir bahagia. Kita
hidup di tempat ketika takdir mampu memainkan cerita kita. Aku takut jika
memang tak ada keajaiban di antara kita, kecuali persilangan yang menuai luka.
Dan, pada akhirnya kamu pergi, meninggalkanku merekam sepi dalam sendiri.
Bukankah kamu sudah tahu tentangku – yang tak cukup mampu membuatmu terjaga sepanjang
malam dan tak terlalu menarik untuk menahanmu dalam obrolan panjang? Mungkin
aku hanyalah deskripsi lain dari pucatnya langit, dan kebosanan dalam suatu
perbincangan. Tapi Al, aku masih saja mencintaimu – dan itu membuatku semakin
dungu. Lagipula, sejak awal aku sudah mengira rasa ini tak perlu untuk
tersentuh. Biar ia mematung, membeku, hingga mati tanpa kamu tahu.
Suatu
malam, menjelang pukul dua, kamu pernah menyapaku dan bilang jika mataku
bercerita dimanapun, lantas hari ini aku memikirkannya. Aku hanya resah bila
kamu tahu apa yang berusaha kusimpan. Karena Al, ini tentang diam. Mengenai
cinta yang memilih hening, tersembunyi dan menjadi rahasia yang nyeri. Karena
segala tentangmu adalah menanti. Biar kuuraikan seperti ini; sepotong hati ini hanya satu – lengkap
dengan lebamnya membekas biru, serta penggal kenangan yang menimbun, tapi ia
memilih untuk mencintaimu dengan utuh. Melulu, dan selalu begitu.
Al,
izinkan aku melukiskan alasan mengapa tulisan-tulisan akanmu tak kunjung usai.
Ini seakan; saat aku melihat wajahmu di
antara terang bintang malam, aku sadar kamu telah menjelma kisah yang tak akan
akhir kusulam. Alasan lainnya Al, sederhana saja. Karena ini tentangmu. Senyummu
adalah lengkung sabit yang melelapkan malam tidurku. Tawamu adalah yang terus
terngiang di ruang kepalaku. Matamu adalah yang bersarang di bilik kenanganku;
membutakanku. Dan, kamu adalah yang tak henti membuatku mencipta cerita-cerita.
Sekali lagi, kamu; yang masih menemukanku di antara keramaian, yang tetap
melihatku di tengah silaunya terang cahaya, dan yang membuatku jatuh cinta.
Lama
aku terus menukar cerita dan mengulang kisah. Kini aku ingin bertanya, Al.
Sebelum episode yang panjang ini kututup, akankah cinta datang tepat pada
waktunya? Atau tentang kita hanyalah seonggok kisah. Bagaikan kisah, ia tak
benar-benar nyata. Jika memang benar, aku memilih untuk tetap tinggal dalam
cerita-cerita, dan tak terjaga.
Aku
pernah berharap segala rasa yang timbul, bisa cepat berakhir lenyap. Tapi
lagi-lagi aku takut, jika begitu, aku hanya akan mengeja senja terus-menerus,
tanpa tahu mengapa ia istimewa.
Al,
jika ini cinta. Ia selalu punya jalannya sendiri untuk pulang. Dan, ketika ia
sudah menemukan arah untuk kembali ke rumah, aku berharap itu adalah kamu.
Episode
ini kututup, namun kamu akan tetap mendapati selip-selip kisah mengenaimu di
tiap tulisan-tulisanku – juga pada bentuk karyaku yang lain, yang meminjam
namamu. Lalu, terima kasih karena telah
membiarkanku mencintaimu. Itu akan terus berlangsung dan masih. Dan, mungkin ia
akan menjelaskan padaku arti selamanya.
*Maaf, karena mungkin aku terus
menjadi orang yang membosankan, tak cukup cantik, dan tidak pula menarik, di
matamu. Sekali lagi, dari perempuan yang saat disekap sendiri, melakukan
hal-hal aneh seperti mengeja senja, mempertanyakan hujan dan memuja malam;
semuanya untuk meneriakkan rindu, yang tak jua habis walau usai bertemu;
denganmu.
Untuk yang bertanya sekali lagi
perihal Al, ingin kujawab: Al bukanlah seseorang, ia adalah banyak orang –
jadi satu.
0 Comments:
Post a Comment