Katanya, AL terlalu hidup dalam
hari-hariku untuk menjadi sekadar tokoh rekaan. Ada bait cinta yang sengaja
dititipkan dalam nama AL, karenanya, banyak yang percaya jika AL bukan orang
yang hanya hidup di kepalaku. Lagi-lagi, menurutnya, AL cukup nyata untuk
disentuh – oleh kenang, yang mekar dan ranum. Jadi, teka-tekinya masih sama;
siapa AL.
Begini saja, akan kukatakan padamu
siapa AL, dengan cara yang teramat sederhana. Kamu bisa membayangkannya; mungkin
sosoknya, atau setidaknya kamu juga tahu bagaimana bayangnya meningkahi hati yang basah oleh hujan. Karena,
ada banyak kunci di sini.
Pertengahan minggu lalu, aku bertemu
AL; masih sama dan terus mengulang, ia masih mengenakan malam di tubuhnya - aku akan terus mengulang ini. Agar lebih
mudah, kukatakan langit malam yang runtuh itu berarti pakaian hitam, dan pikat
malam yang melelapkanmu dalam lantunan pengantar tidur, adalah utuhnya AL. Lalu, tentang
mata AL yang meminang bulan; ada tengkar yang terbit di sana, maka itu bulan
kerap hanya separuh dan menyisakan aku yang berkecamuk. Remuk; tapi ia tak
pernah tahu apa yang melapuk.
Lagi, kini matanya sudah bersarang –
bukan di bilik hati, sepasang kacamata berembun, manik mataku maupun ruang
memoriku; mata hitamnya membangun rumah di cangkir tehku, pada malam menjelang
pagi; hampir pukul dua. Di saat itulah, aku hampir gila.
Jadi, kamu tahu banyak hal tentang
AL. Ia yang membuatku hanya mampu berkata; tak
ada yang menyisa kecuali menyambutnya pulang*. Ia yang membentuk langkah-langkah
getar; yang serupa aspal yang gemeletuk
di bawah sepatu*. Ia yang mencipta tanya, apakah mungkin cinta bisa terlambat
datang?
Dan,
AL bukanlah inisial, ia adalah
penggal nama. Bukan lagi seseorang, bukan juga cerita-cerita tentang
kekasih. Ini tentang pesan hati tersembunyi yang tak sampai padanya.
Jadi, siapakah?
Kujawab; itulah AL.
*kalimat
terinsipirasi dari cerpen Dee ‘Back to Heavens Light’
*penggal
larik puisi ‘Tajam Hujanmu’ karya Sapardi Djoko Damono
AL adalah AL
ReplyDelete