Saat itu siang, ia sedang duduk di
sebuah tempat makan yang tidak terlalu ramai. Ia larut dalam kebosanan yang menyiksa,
lalu ia mengamit tanganku. Katanya; mari menjelajah. Aku menyambutnya – dan ia
paling tahu; aku tak akan tahan masuk ke toko-toko pakaian dengan berbagai
brand terkenal yang menyilaukan mata, ia hanya mengajakku singgah di sebuah rak
bacaan kecil di sudut pusat perbelanjaan. Kita membolak-balik lembar majalah, ia
membaca artikel mengenai idola Korea dan aku tentang zodiak. Dan, obrolan
tentang masa lalu itu pun meluncur; aku seperti melihat waktu kecilku di antara
cerita-ceritanya.
“…dulunya, aku tidak seperti ini.
Kamu bisa mendeskripsikan aku dengan berbagai macam hewan bertubuh besar,
bayangkan dengan kacamata berminus tebal, serta ketinggian yang tidak seberapa.
Kamu akan tahu alasan mengapa orang-orang menjelma ibu peri jahat yang
menyebutku upik abu. Dan, aku adalah yang tersudut di tepi kelas, melongok pada
diri sendiri, lantas bertanya mengapa mereka tertawa padaku? Aku ikut tertawa
seperti orang bodoh.”
Tapi,
ada yang remuk di hatimu. Karena luka tak harus membuatmu berair-mata. Karena
sakit tak harus menjadikanmu meringis. Aku bergumam, dan aku merasakan ada hatiku yang nyeri. Ia
melanjutkan ceritanya.
“…suatu waktu saat bepergian, ketika
tiap pasang mata lelaki mengintai aku dan temanku, pada akhirnya mereka
menanggalkanku dalam diam yang membuang. Dan, mereka – lelaki-lelaki itu, kerap
bertanya terus-menerus tentang temanku, yang tampil bak putri di
kerajaan-kerajaan dongeng.”
Aku menggeleng keras, mendongak
sejenak ke arah langit-langit. Aku pernah memiiliki cerita yang sama, yang hingga kini memukulku tiap pagi menyapa dan malam menyinggah. Aku butuh nafas untuk dada yang sesak. Cerita
itu akan menyakitkan – aku tahu, tanpa ia harus menguntainya lebih jauh. Aku
berusaha untuk menghentikan ceritanya sebelum itu membuat kita berdua terluka.
Hatiku berkecamuk, ingin kuteriakkan padanya jika aku melihat riak-riak manis
di tiap senyumannya yang sederhana, aku menemukan cantik pada
ekspresi-ekspresinya yang mengundang tawa, aku mendapati seseorang yang mau
berusaha keras pada komitmennya mengikuti sejumlah kegiatan, aku merasakan
kehangatan dan menjadi diriku sendiri ketika berada di dekatnya. Ia menawarkan
hari yang siap jadi kenangan indah akhirnya. Karenanya, ia istimewa.
Kali ini aku meraih tangannya, lalu
aku menyampaikan ini padanya (kalimat yang sama, yang berusaha kubisikkan pada
diriku sendiri setiap pagi ketika aku menghadapi bayanganku sendiri di depan
cermin yang kusam). Sebuah dongeng – dalam cerita lain.
Mungkin kita bukan putri bersepatu
kaca yang memiliki pangeran berkuda putih, yang akan membawa kita ke istana
paling megah. Tapi apakah kita ingat jika seorang putri adalah seseorang yang
sebelumnya hidup dalam abu, terkurung dalam gudang, dan diam-diam menangis di
pertengahan malam? Seseorang yang sebelumnya mengenakan baju rajutan dari
gorden jendela kumal, yang tubuhnya berbau arang karena lama bekerja dalam babu?
Lantas, apa yang membuatnya bermahkota? Aku pun mengutip salah satu kalimat si
putri dalam dongeng itu, putri itu bilang; ketika ada kebaikan, di sanalah ada
keajaiban.
Dan,
padamu Fransiska Desfourina, aku melihat keajaiban itu.
Aku terharu dan terenyuuh veroo <3
ReplyDeleteThank you for being my best friend !!
:*:*