Sunday, 22 March 2015

Sepotong Dongeng Sederhana untuk Seorang Perempuan Mungil


Saat itu siang, ia sedang duduk di sebuah tempat makan yang tidak terlalu ramai. Ia larut dalam kebosanan yang menyiksa, lalu ia mengamit tanganku. Katanya; mari menjelajah. Aku menyambutnya – dan ia paling tahu; aku tak akan tahan masuk ke toko-toko pakaian dengan berbagai brand terkenal yang menyilaukan mata, ia hanya mengajakku singgah di sebuah rak bacaan kecil di sudut pusat perbelanjaan. Kita membolak-balik lembar majalah, ia membaca artikel mengenai idola Korea dan aku tentang zodiak. Dan, obrolan tentang masa lalu itu pun meluncur; aku seperti melihat waktu kecilku di antara cerita-ceritanya.
“…dulunya, aku tidak seperti ini. Kamu bisa mendeskripsikan aku dengan berbagai macam hewan bertubuh besar, bayangkan dengan kacamata berminus tebal, serta ketinggian yang tidak seberapa. Kamu akan tahu alasan mengapa orang-orang menjelma ibu peri jahat yang menyebutku upik abu. Dan, aku adalah yang tersudut di tepi kelas, melongok pada diri sendiri, lantas bertanya mengapa mereka tertawa padaku? Aku ikut tertawa seperti orang bodoh.”
Tapi, ada yang remuk di hatimu. Karena luka tak harus membuatmu berair-mata. Karena sakit tak harus menjadikanmu meringis. Aku bergumam, dan aku merasakan ada hatiku yang nyeri. Ia melanjutkan ceritanya.
“…suatu waktu saat bepergian, ketika tiap pasang mata lelaki mengintai aku dan temanku, pada akhirnya mereka menanggalkanku dalam diam yang membuang. Dan, mereka – lelaki-lelaki itu, kerap bertanya terus-menerus tentang temanku, yang tampil bak putri di kerajaan-kerajaan dongeng.”
Aku menggeleng keras, mendongak sejenak ke arah langit-langit. Aku pernah memiiliki cerita yang sama, yang hingga kini memukulku tiap pagi menyapa dan malam menyinggah. Aku butuh nafas untuk dada yang sesak. Cerita itu akan menyakitkan – aku tahu, tanpa ia harus menguntainya lebih jauh. Aku berusaha untuk menghentikan ceritanya sebelum itu membuat kita berdua terluka. Hatiku berkecamuk, ingin kuteriakkan padanya jika aku melihat riak-riak manis di tiap senyumannya yang sederhana, aku menemukan cantik pada ekspresi-ekspresinya yang mengundang tawa, aku mendapati seseorang yang mau berusaha keras pada komitmennya mengikuti sejumlah kegiatan, aku merasakan kehangatan dan menjadi diriku sendiri ketika berada di dekatnya. Ia menawarkan hari yang siap jadi kenangan indah akhirnya. Karenanya, ia istimewa.
Kali ini aku meraih tangannya, lalu aku menyampaikan ini padanya (kalimat yang sama, yang berusaha kubisikkan pada diriku sendiri setiap pagi ketika aku menghadapi bayanganku sendiri di depan cermin yang kusam). Sebuah dongeng – dalam cerita lain.
Mungkin kita bukan putri bersepatu kaca yang memiliki pangeran berkuda putih, yang akan membawa kita ke istana paling megah. Tapi apakah kita ingat jika seorang putri adalah seseorang yang sebelumnya hidup dalam abu, terkurung dalam gudang, dan diam-diam menangis di pertengahan malam? Seseorang yang sebelumnya mengenakan baju rajutan dari gorden jendela kumal, yang tubuhnya berbau arang karena lama bekerja dalam babu? Lantas, apa yang membuatnya bermahkota? Aku pun mengutip salah satu kalimat si putri dalam dongeng itu, putri itu bilang; ketika ada kebaikan, di sanalah ada keajaiban.
Dan, padamu Fransiska Desfourina, aku melihat keajaiban itu.  

1 comment:

  1. Aku terharu dan terenyuuh veroo <3
    Thank you for being my best friend !!
    :*:*

    ReplyDelete