“…perihal menanti adalah siap dilumat sepi dalam resah tak pasti yang menguliti, bersedia ditemani sunyi yang bermukim di ruang hati, lalu seluruhnya kamu lalui dan lewati dalam sendiri.”
Malam itu, aku meremas kedua
tanganku yang saling tergenggam. Sesekali aku memeluk diriku sendiri,
mengeratkan mantel hitam yang membalut tubuhku. Ruang tempat aku dikepung
sunyi, nyatanya juga tengah sendiri. Hanya ia satu-satunya yang berdiri kukuh dan
menyala, di antara ruangan lainnya yang menggelap tak terpakai ketika malam
naik tahta. Gelisah, aku terus mengekori gerak jarum jam yang setia memutar dan
kembali mengulang. Baru akhirnya kusadari, ada yang berbeda antara aku dengan
ruangan itu. Kita mungkin sama-sama sendiri, tapi ia hanya diam, sedangkan aku;
menanti.
Menurutmu, apa yang paling
menggelisahkan dari menunggu? Seorang kawanku menjawabnya sembari angin lalu,
menurutnya penungguan adalah pohon pahit yang berbuah manis. Jawaban itu
mengantarku pada sejumlah kisah yang ingin kuceritakan padamu pada temu kita
yang harus didahului waktu tunggu terlebih dulu. Sebab, tak selamanya menanti
membawamu pada janji-janji yang tergenapi. Tak selalu menunggu membawamu pada
peluk temu. Terkadang, ia membiarkan rindu tergugu, angan terbelenggu, hingga
menjadikan bayangmu membiru.
Apa kamu pernah dengar tentang
seorang perempuan yang menunggu datangnya seorang lelaki di Loftus Road hingga
ia menjelma menjadi pohon?* Waktu tunggunya tak terhitung, karena melibatkan
seumur hidupnya. Atau kisah lainnya, mengenai seseorang yang menanti Pria
Murakami*, sampai ia berbuat hal-hal yang orang anggap tak masuk akal? Banyak
peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu penantian. Kamu tak terlalu akrab
dengan kisah-kisah itu? Tapi aku yakin kamu pernah mendengar kisah seekor
anjing yang kerap menunggu majikannya, sebelum akhirnya mati karena menunggu.
Dan, penungguan anjing itu masih berlanjut, dalam bentuk patung. Ini
mengingatkanku pada bakat seseorang yang menunggu, digambarkan seperti gunung. Coba
bayangkan gunung sebagai pecinta yang sedang menunggu orang dicintanya*. Dan,
ia sudah menunggu semenjak ia ada di dunia. Akhirnya kamu menghentikan
ceritaku, katamu cerita-ceritaku terkait penungguan dan penantian memiliki
wajah yang muram dan durja. Saat itu, ingin sekali kubisikkan padamu; maka itu, jangan buat aku menunggu.
Aku kembali meniti angka-angka di
jam dinding yang tergantung di ruangan sendiri ini. Nyatanya, aku tetap
diringkus waktu tunggu, dan ditingkahi detik-detik menanti. Tak apa, karena
waktu tunggu tak akan menuai jemu ketika itu adalah menunggu kamu.
*cerpen
‘Seorang Perempuan di Loftus Road’ karya Bernard Batubara
*cerpen
‘Pria Murakami’ karya Norman Erikson Pasaribu
*diambil
dari nukilan ‘Hanya Kamu Yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu’ karya
Norman Erikson Pasaribu
0 Comments:
Post a Comment