Sore ini, ketika aku tengah diusik
waktu tunggu yang mencekik, seorang perempuan berlari ke arahku. Ia duduk di
hadapanku, tiba-tiba. Cukup lama sebelum akhirnya ia menangis bisu; aku senyap.
Mata merahnya menjajakiku, berbisik kalimat Murakami, “…karena kekerasan tidak
selalu bersifat fisik, luka tidak selalu mengeluarkan darah.” Aku bergetar, aku
tak sanggup menelan Murakami di sore yang muram hari ini. Lambat laun,
perempuan itu mulai berkisah, keseluruhan kisahnya tentang ia yang menjelma
bebek kelabu. Lantas, kuobrolkan padanya cerita-cerita ini. Cerita yang kudapat
sekilas dan sepintas; di tiap harinya.
Kubilang, pagi ini aku bertemu
banyak orang. Salah satunya, seorang ibu paruh baya berkerudung biru dan
berbaju hijau berlengan panjang nan kumal. Sebelum aku bersua dengan beliau,
aku memperhatikannya dari balik dinding bangunan yang menjulang angkuh, yang
tiap harinya kutelikung. Beliau tengah mengangkat sekarung goni botol plastik
di punggungnya, dan besi pengait di tangan kanannya. Matanya sibuk mengais-ngais
harapan di pagi buta; untuk mulut anak-anaknya.
“…
dan, aku bisa menarik beliau ke mari, bercakap di antara kita. Karena bagiku,
beliau adalah definisi cantik, yang mempertahankan pagi tetap perawan.”
Kukatakan, siang ini aku menyaksikan
banyak pertunjukkan. Salah satunya, seorang bapak tua yang membonceng putrinya
di jok motor belakangnya. Itu motor usang yang begitu berisik – tapi itu bagai bisikan
di telingaku ketika tawa dan obrolan mereka mengiang. Mereka berhenti di sebuah
sekolah yang tidak terlalu terkenal, saat remaja putri itu menengok sesaat; rasanya
aku mengenalnya. Bukankah ia remaja yang pernah bertemu denganku sejenak lalu,
yang mengatakan jika ia berpacaran dengan Bapaknya, berkencan dengan Ibunya,
dan bersetubuh dengan Tuhan. Katanya, sebelum tua, sebelum renta, sebelum
terlambat menjemputnya pulang.
“…
dan, aku bisa mengajaknya ke mari, mengobrol di antara kita. Karena untukku, ia
adalah deskripsi bahagia, yang mempertahankan hari tetap ceria dan istimewa.”
Kubisikkan, malam ini aku meniduri
rembulan. Karenanya, aku mendengar tangisnya yang diam-diam meraung di angkasa –
dan lenyap dimakan sepi yang begitu duka. Kita berdua tahu bagaimana jeleknya
bulan, permukaan wajahnya yang coreng-moreng dan bagaimana iri-nya bulan pada
bintang-bintang di sekelilingnya. Sedangkan ia hanya menerima suap cahaya dari
surya dan memantulkannya seolah-olah itu miliknya. Tapi, aku dan kamu sama-sama
tahu betapa bulan yang bertengger di gelap malam sana, yang kerap bersedih,
adalah yang paling kita cintai, yang paling setia menemani, yang paling teduh.
Hanya saja, si bulan tak tahu. Begitu pun apa yang ada padamu.
“…
dan, aku bisa melihat bulan itu, rembulan itu, lengkung sabit itu, dan purnama
itu … pada kedalaman matamu ketika mencintai.”
Dan, kulirihkan padanya. Kamu
cantik, kamu berharga, dan kamu adalah istimewa. Perempuan itu masih menangis.
Tangisnya mengeras, terlalu keras dan kencang hingga mampu membuatku terjaga
sekejap. Aku bermimpi – dan saat terbangun, aku melihat perempuan itu di
pantulan kaca pada permukaan cermin; aku.
0 Comments:
Post a Comment