“…seorang penyair menulis, senja ialah memar luka, di punggung pacar
gelap. Tapi lelaki yang kini ditunggunya itu pernah berkata; senja hanyalah
cara waktu menguji, seberapa tabah engkau mencintai.” – Cerita di Hari Valentine, Agus Noor.
Hari ini aku ingin membincangkan
senja. Namun, bukan senja yang dipotong seseorang untuk dipersembahkan kepada
kekasihnya. Bukan pula tentang senja yang membuat langit berdarah. Tidak juga
mengenai senja yang perlahan dieja malam, dan dilepas siang. Melainkan sepotong
senja di hari petang, yang jatuh di matamu; dan aku mencintainya.
Kapan terakhir kita mengobrolkan
perihal senja? Waktu itu, kamu mengajakku menyapa senja; yang benar-benar
kuingat saat itu bukanlah gores jingga yang menggurat di langit, tapi pantulan
cahaya emas yang menggantung di manik matamu. Kamu seakan memberikanku
kesempatan untuk mati ditelan senja, dan lahir kembali keesokan harinya sebagai
fajar; keduanya sama – menguraikan betapa eloknya jingga mencumbui tubuh langit
yang sorenya mendesaukan kenangan dan
paginya mendesahkan embun angan.
“Senja mengingatkanku pada musim
gugur. Tentang daun-daun kering dan menguning,” katamu saat kita duduk
membelakangi senja, seolah sengaja membiarkan ia mencuri dengar percakapan kita
tentangnya. Kubilang, mungkin aku sepakat denganmu. Daun-daun kuning itu jatuh
dan gugur, dimainkan angin, berusaha mencari arah untuk rumah barunya. Sama
seperti senja, yang terbenam dan tenggelam di kedalaman kedua matamu, lalu
dimainkan oleh gerak manik matamu, berusaha menjaring apa yang berusaha kusimpan
di bilik kalbu.
“Untukku, petang adalah tempat
pulang bagi mereka yang dipasung kenang,” celetukku akhirnya, sembari merapikan
anak-anak rambutku yang dicium kesiur angin sore. Kamu tersenyum, katanya kamu
sudah sering mendengar tentang hari senja yang mengirim pesan pada siapapun
untuk pulang; memeluk seseorang atau siapapun yang mungkin menunggu di suatu
tempat dengan hati penuh gelisah timbang. Aku pun melirik ke arahmu, kamu banyak
tahu tentang senja, Al. Tentang waktu-waktu siang yang merenta lalu membentuk
senja. Tentang remang-remang malam dan temaram yang dipunyai sebelum gelap;
semuanya adalah deskripsi lain atas panorama senja.
Kamu mengalihkan pandangmu padaku –
tubuhmu menjelma siluet ketika memunggungi senja, wajahmu berubah menjadi
bayang gelap dan keseluruhanmu hanyalah hitam. Namun, tidak kedua matamu. Senja
menembus melalui manik matamu, menerbitkan cahaya jingga keemasannya yang
teduh. Aku melihat senja di kedua matamu, dan sejak itu, percakapan kita
tentang senja tak pernah benar-benar kuingat. Kecuali tentang matamu yang
berhasil meminang senja. Senja yang istimewa – yang padanya, diam-diam
kusematkan cinta yang memilih jadi rahasia di dalamnya.
0 Comments:
Post a Comment