Wednesday, 18 March 2015

Memorabilia Sepasang Kekasih



“…hanya orang yang paling mencintaimu, yang mampu membunuhmu.” – Orang yang Paling Mencintaimu, Bernard Batubara.
Dan, aku mencintaimu. 
***
Aku berjalan-jalan di bahu jalan kompleks perumahanku ketika malam sudah menyentuh waktu pucatnya. Kueratkan mantel kumal  berwarna merah jambu yang sudah memudar menuju kelabu, tapi aku menyukainya; bukankah begitu cara seseorang mencintai? Kamu tahu mungkin kekasihmu berkali-kali membawa mendung untuk hari-harimu, tapi kamu tetap bertahan dengannya, alasannya sederhana; kamu menyukai hujan. Dan, sebuah hubungan itu dibina dengan berdansa di bawah badai hujan, bukan dengan cara menghindarinya. Jangan salahkan dirimu, aku juga demikian. Kutendang beberapa batu kerikil yang berbaris acak di langkah-langkah depanku, mengira-ngira sudah berapa kali aku harus berjalan sendirian di pertangahan malam, untuk menemuinya.
Kedua tanganku yang mulai gigil, kumasukkan ke dalam saku mantel yang cukup hangat – tapi tanganku tak pernah merasa nyaman di dalamnya, ada sesuatu yang janggal, yang menganggu, yang kerap tersembunyi di balik salah satu saku itu; yang menyengatku. Terlebih ketika lelaki itu sudah membuka pintu kamar apartemennya, menyambutku dengan mata setengah mabuknya. Aku tersenyum; sudah berapa kali kujelaskan padamu, aku memang mencintainya – bau tembakau yang khas di tubuhnya, lengkung senyumnya yang menggoda, mata sayunya yang menjaring, dan pelukan eratnya yang menelanjangiku; sekaligus membuatku tak mampu bernafas.
“Lama menunggu?” kataku akhirnya. Lelaki itu menggeleng, melemparkan tatap matanya yang memikat itu untukku; hanya sayang saja, kadang kala senyum itu tak seutuhnya dan sepenuhnya milikku. Ia menghambur memelukku, selain aroma alkohol yang menyetubuhi sekujur tubuhnya, samar aku membaui aroma lain yang tidak asing di lehernya, itu aroma yang hampir setiap pagi kusiram di atas kulit-kulit tubuhku, tapi lelaki itu masih saja memelukku erat. Terlalu erat, hingga aku bisa merasakan luka dan lebam yang menyisa di beberapa titik tubuhku meraungkan sakitnya; yang kerap kuperoleh darinya.
“Tak pernah ada tunggu yang sia-sia, ketika itu tentangmu,” ujarnya dengan nada berat yang kurindukan. Tangannya yang berkulit kasar mulai menari-nari di antara anak rambutku, menarik gumpalan rambutku ke belakang; memaksaku mendongak ke arahnya. Saat itulah, tanganku mulai menggigil sekali lagi. Dingin. Beku. Wajahku pucat, dan ia tidak peduli.  Seperti yang kulakukan tadi, kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku mantelku – yang janggal, yang menyimpan sesuatu.
“Bagaimana jika itu tentang orang lain yang bermalam dan lelap di sini selain aku?” tanyaku, sembari membiarkan bilah benda tajam menari-nari di dalam tubuhnya. Setelah ia selesai mengerang, aku duduk menindih tubuh lelaki itu yang jatuh terkapar di atas lantai dingin apartemen pada pertengahan malam. Tanganku tak lagi dingin, sudah hangat oleh cairan merah yang membasahi telapak hingga punggung tanganku.
“…karena, pada malamnya kita bercinta, lalu paginya aku melahirkan kenangan. Jika lelaki punya permainan, perempuan selalu punya rencana,” bisikku meninggalkannya.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment