“…hanya
orang yang paling mencintaimu, yang mampu membunuhmu.” – Orang yang Paling
Mencintaimu, Bernard Batubara.
Dan,
aku mencintaimu.
***
Aku berjalan-jalan di bahu jalan
kompleks perumahanku ketika malam sudah menyentuh waktu pucatnya. Kueratkan
mantel kumal berwarna merah jambu yang
sudah memudar menuju kelabu, tapi aku menyukainya; bukankah begitu cara
seseorang mencintai? Kamu tahu mungkin kekasihmu berkali-kali membawa mendung
untuk hari-harimu, tapi kamu tetap bertahan dengannya, alasannya sederhana;
kamu menyukai hujan. Dan, sebuah hubungan itu dibina dengan berdansa di bawah
badai hujan, bukan dengan cara menghindarinya. Jangan salahkan dirimu, aku juga
demikian. Kutendang beberapa batu kerikil yang berbaris acak di langkah-langkah
depanku, mengira-ngira sudah berapa kali aku harus berjalan sendirian di
pertangahan malam, untuk menemuinya.
Kedua tanganku yang mulai gigil,
kumasukkan ke dalam saku mantel yang cukup hangat – tapi tanganku tak pernah
merasa nyaman di dalamnya, ada sesuatu yang janggal, yang menganggu, yang kerap
tersembunyi di balik salah satu saku itu; yang menyengatku. Terlebih ketika
lelaki itu sudah membuka pintu kamar apartemennya, menyambutku dengan mata
setengah mabuknya. Aku tersenyum; sudah berapa kali kujelaskan padamu, aku
memang mencintainya – bau tembakau yang khas di tubuhnya, lengkung senyumnya
yang menggoda, mata sayunya yang menjaring, dan pelukan eratnya yang
menelanjangiku; sekaligus membuatku tak mampu bernafas.
“Lama menunggu?” kataku akhirnya.
Lelaki itu menggeleng, melemparkan tatap matanya yang memikat itu untukku;
hanya sayang saja, kadang kala senyum itu tak seutuhnya dan sepenuhnya milikku.
Ia menghambur memelukku, selain aroma alkohol yang menyetubuhi sekujur
tubuhnya, samar aku membaui aroma lain yang tidak asing di lehernya, itu aroma
yang hampir setiap pagi kusiram di atas kulit-kulit tubuhku, tapi lelaki itu
masih saja memelukku erat. Terlalu erat, hingga aku bisa merasakan luka dan
lebam yang menyisa di beberapa titik tubuhku meraungkan sakitnya; yang kerap
kuperoleh darinya.
“Tak pernah ada tunggu yang sia-sia,
ketika itu tentangmu,” ujarnya dengan nada berat yang kurindukan. Tangannya
yang berkulit kasar mulai menari-nari di antara anak rambutku, menarik gumpalan
rambutku ke belakang; memaksaku mendongak ke arahnya. Saat itulah, tanganku
mulai menggigil sekali lagi. Dingin. Beku. Wajahku pucat, dan ia tidak
peduli. Seperti yang kulakukan tadi,
kumasukkan kedua tanganku ke dalam saku mantelku – yang janggal, yang menyimpan
sesuatu.
“Bagaimana jika itu tentang orang
lain yang bermalam dan lelap di sini selain aku?” tanyaku, sembari membiarkan
bilah benda tajam menari-nari di dalam tubuhnya. Setelah ia selesai mengerang,
aku duduk menindih tubuh lelaki itu yang jatuh terkapar di atas lantai dingin
apartemen pada pertengahan malam. Tanganku tak lagi dingin, sudah hangat oleh
cairan merah yang membasahi telapak hingga punggung tanganku.
“…karena, pada malamnya kita
bercinta, lalu paginya aku melahirkan kenangan. Jika lelaki punya permainan,
perempuan selalu punya rencana,” bisikku meninggalkannya.
0 Comments:
Post a Comment