…saat
pertama kali kita berbincang pada hujan malam itu, aku tahu, kamu adalah orang
terakhir yang akan kubisikan perihal cinta. Lantas kamu bertanya mengapa, dan
aku menuliskan kisah ini untukmu.
Perempuan itu mengenakan dress merah
marun dengan mafela batik hitam yang melingkari lehernya. Sejak langit senja
runtuh, ia sudah mengambil duduk di teras kafe yang berpayung terbuka. Ketika
pelayan berbaju dress cokelat berenda itu menghampiri mejanya, tanpa membuka
buku menu, perempuan itu tersenyum dan berbisik kecil; americanno. Ia selalu memesan secangkir kopi yang sama, yang pada
akhirnya akan ia tinggalkan tanpa pernah menyesapnya sekalipun. Tapi hari itu,
ia berniat tak akan beranjak; karena ada rasa yang kali ini tak henti menanjak.
Dan ia meminta pada si pelayan kafe untuk menutup payung yang terbuka. Tepat
ketika payung itu ditutupnya, hujan seakan tergelitik untuk bertingkah. Perempuan
itu basah dan tak jua mau melangkah.
“Silakan pindah ke dalam ruang kafe,
akan kami sediakan secangkir americano hangat lagi.”
Perempuan itu menggeleng. Senyum
kecilnya melengkung di bibirnya yang memutih karena gigil. Tiap pasang mata,
yang menempel di kaca jendela besar dalam ruang kafe mengikuti gerak si
perempuan yang lebih banyak diam. Lalu lalang orang-orang dan kendaraan yang
melintas, sesekali berhenti sejenak, menawarkan sepayung teduh atau tumpangan
dengan perlindungan penuh. Tapi ia menggeleng, ada yang ia tunggu, bisiknya di
sela-sela dingin yang mencari rumah di tubuh mungilnya. Bahkan ketika hujan
melebat dan bujukan-bujukan itu juga menderas, lalu malam terus merangkak,
perempuan bermafela batik itu tetap tinggal.
Di antara ramai pasang mata dan riuh
perbincangan akan perempuan yang terus menunggu, ada seorang lelaki berpayung
hitam yang berdiri di balik bangunan kafe. Manik mata cokelatnya berhenti pada
senyum samar milik si perempuan. Ia masih ingat pesan singkat yang dikirimnya
seminggu lalu; americano untuk kita
berdua. Dan, ia juga tak lupa sebuah surat yang diterima setelahnya;
inisial nama seorang lelaki lain dan perempuan itu dalam surat undangan, yang
harusnya ia hadiri dan perempuan itu tepati. Diam-diam, mereka berdua hanya
menitipkan bisik di antara rinai hujan yang merintik di atas kepul hangat americano; karena
hati ini menunggu seseorang lain, kamu
...dan secangkir janji kita di caffe americano.
…karena
biasanya kisah itu dimulai tepat ketika kita merasa segalanya telah berakhir.
Padamu.
0 Comments:
Post a Comment