Pagi itu pada hari kasih sayang
(14/2), di Function Room Gramedia Matraman, digelar Gathering and Fun Writing
Workshop Menulis Romance bersama Indah Hanaco dan Jenny Thalia. Kegiatan yang diselenggarakan
oleh penerbit Elex Media Komputindo itu dibagi menjadi 3 segmen. Dua segmen di
awal adalah sharing bersama kedua penulis, dan penerbit (juga editor). Segmen
terakhir adalah praktek mengekseskusi ide menjadi outline. Ketiganya dipandu
oleh marcomm Elex Media, Intan. Dan, sharing yang penuh cinta itu pun dimulai.
Aku duduk dua bangku dari depan, dan
menyimak sesi sharing bersama penulis dari Indah Hanaco. Beliau yang hari itu
tampil dengan blouse jaring-jaring berwarna pink-keunguan dan rok hitam
selutut, berbagi cerita panjang mengenai pengalaman kepenulisannya.
“Pertanyaan paling dasar ketika mulai menulis
adalah bagaimana mendapatkan inspirasi. Aku cuma bisa bilang, itu muncul dari
mana saja dan kapan saja. Contohnya karyaku yang berjudul ‘After Sunset’, itu
inspirasi awalnya dari baca tweet-tweet Wow
Fakta,” ujar beliau, yang kerap menulis sambil membuka-buka KBBI. Tak hanya
dari tweet-tweet yang random, tapi bahkan dari sepotong dialog film yang selalu
tertancap di kepala atau iklan yang terus-menerus terngiang, bisa jadi bahan
tulisan untuk Indah Hanaco. Jadi, jika ada sesuatu hal yang mengundang ekspresi
kita, langsung ditulis saja, tidak harus menjadi tulisan yang bagus, karena
pada dasarnya: yang penting menulis terlebih dulu. Ketika itu, aku jadi ingat
satu quote ini: “menulislah yang buruk, kamu selalu punya waktu untuk
mengeditnya dengan brilian.” (untuk kalimat ini, kamu bisa mencari tahu lebih banyak dalam buku Creative Writing-nya A.S Laksana)
Saat inspirasi itu sudah diterima,
pastinya akan muncul kendala. Kendala terbesar adalah mendisiplinkan diri,
menetapkan hati untuk mulai mengembangkan inspirasi dan ide dasar itu. Bagi
Indah, jika writers block menyerang, beliau
berusaha menakhlukkannya. Beliau tidak meninggalkan tulisannya begitu saja. “Tetap
aku kerjain, walaupun hanya jadi satu paragraf. Jangan ditiingal. Aku pernah
meninggalkan naskah, dan sampai akhirnya gak pernah selesai. Satu lagi,
mulailah menulis tentang apa yang kamu sukai, karena dengan itu, tulisanmu akan
lancar dan writers block tak akan
ada.”
Cara terbaik agar sebuah cerita bisa
dieksekusi dengan baik dan tidak berhenti di tengah jalan karena tak tahu apa
yang ingin ditulis lagi, adalah dengan membuat outline. Manfaat outline menurut
Indah Hanaco, berfungsi memagari cerita, membuat penyelesaian naskah jauh lebih
mudah (benar jika ada yang bilang, ketika kamu telah berhasil membuat outline,
kamu sudah menyelesaikan 40% dari naskahmu), serta menciptakan fleksibilitas
terhadap perubahan saat pembuatan naskah.
“Bagiku, outline yang baik adalah
memiliki konflik di tiap bab ceritanya. Minimal harus ada kejutan. Tak hanya
sebagai tempelan, tapi bagian dari cerita yang mendetil,” tambah Indah, yang
mampu pernah menyelesaikan naskah novel hanya dalam waktu 9 hari.
Selesai dengan ide dan outline,
penulis biasanya menghadapi masalah lainnya; mengeksekusi outline agar jadi
karya yang diterima. Maka itu, penting untuk memelihara konsistensi dan
semangat menulis. Itu bisa didapatkan dengan memikirkan royalti yang akan
didapatkan (hehehe). Ada satu kalimat yang aku suka pada bagian ini, Indah
Hanaco bilang jika kita sebagai penulis, tak mungkin bisa menyenangi semua
orang. Bukankah menulis itu sendiri tujuan awalnya adalah membahagiakan diri
sendiri? Lagipula, ketika kita bahagia dalam menulis, tulisan kita juga akan
membahagian pembaca yang menikmatinya. Jadi, kunci utama sebelum mulai menulis
adalah siapkan diri untuk larut dan tenggelam pada cerita yang kita buat, saat
itulah kita mencapai titik menulis dengan hati.
Kalau cerita sudah selesai dan siap
kirim, pastikan itu dikirim langsung pada editornya. Untuk Indah Hanaco, beliau
tidak terlalu menyarankan mengirimkan naskah cerita kita pada teman-teman,
karena bisa saja teman kita memiliki selera baca yang berbeda dari naskah kita.
Hingga akhirnya, teman kita berkomentar yang bisa menjatuhkan kita, atau karena
tidak enak hati, memuji-muji kita. Sulit sekali menemukan titik objektivitas
dalam penilaian. Jadi, percaya diri saja dalam mengirim naskah. Jangan pernah
bilang takut mengirim ke penerbit besar dan mayor, bukankah setiap penulis
besar juga dimulai dari penulis amatiran – yang tak pernah berhenti berusaha
dan belajar? Mengenai proses belajar, Indah Hanaco bahkan masih belajar dalam
memperkaya kosa kata. Tiap kali menulis, beliau masih membaca thesaurus, agar
menghindari repetisi kata yang membosankan. Mungkin proses menulisnya jadi lama
karena sambil memilah-milah kata di thesaurus, tapi itu bagian dari usaha. Tak
ada jalan instan untuk menjadi penulis yang cerdas dalam diksi atau pemilihan
kata.
Terakhir dari Indah Hanaco, “Sesungguhnya
dalam dunia menulis, tak ada teori resmi yang mengarahkanmu harus begini dan
begitu. Semua teori itu akan kamu dapatkan sendiri ketika menjalaninya.
Pengalaman yang akan mengajarimu pada akhirnya.” (kalimat ini sejalan dengan
apa yang diucapkan Agus Noor dalam kelas kepenulisan Cerpen Kompas yang kuikuti
tahun lalu, sila cek di sini)
Aku yang duduk diam di balik bangku
bermeja, hanya mengangguk-angguk sembari tersenyum. Bukankah menulis dengan
hati itu begitu menyenangkan?
Tentang Indah Hanaco
Lahir di Pematangsiantar, 14 Oktober. Puluhan karyanya telah termuat di media nasional, dan belasan bukunya sudah terbit di berbagai penerbit di Indonesia. Seorang writer, dreamer dan lover yang kini menjadi full-time writer. Bukunya yang terbaru di penerbit Elex Media; Scent of Love in London, bisa didapatkan di toko buku terdekat.
Tentang Indah Hanaco
Lahir di Pematangsiantar, 14 Oktober. Puluhan karyanya telah termuat di media nasional, dan belasan bukunya sudah terbit di berbagai penerbit di Indonesia. Seorang writer, dreamer dan lover yang kini menjadi full-time writer. Bukunya yang terbaru di penerbit Elex Media; Scent of Love in London, bisa didapatkan di toko buku terdekat.
tulisan yang sangat menginspirasi
ReplyDelete