Pada sebuah petang, aku mendapatimu
duduk di balik jendela besar kafe, yang memiliki jam dinding berbandul usang
yang khas. Jantungku riuh. Aku menghampirimu. Dan, kamu – yang sedang ditimbuni
kertas-kertas kerjamu – menatapku seolah bertanya; apakah kita pernah bertemu. Aku mengulum senyum. Ingin kubilang
padamu, beriringan dengan tawa kecil yang terdengar hambar, jika aku bukan
perempuan yang mampu membuat lelaki mengingatku pada pertemuan pertama. Ingin kukatakan
padamu, bersamaan dengan lengkung senyumku yang terlihat pahit, jika aku bukan
perempuan yang bisa membuat lelaki diam-diam mencari tahu tentangku, dan segera
meminta nomor teleponku dari kawanku. Aku tidak semenarik itu. Tapi, aku hanya
membisu dan mengambil duduk di hadapanmu yang masih melempariku dengan tatap
bingung itu.
“Tidak. Aku hanya perempuan penjaja cerita, yang mencari orang untuk mendengar kisah-kisah. Apa kamu bersedia?”
“Tidak. Aku hanya perempuan penjaja cerita, yang mencari orang untuk mendengar kisah-kisah. Apa kamu bersedia?”
Kamu tidak menjawab, dan aku tetap
saja bercerita. Kuceritakan padamu kisah ini; tentang seorang perempuan yang
gila, karena mengatakan pada orang-orang jika ia kehilangan matanya. Padahal jelas
sekali, kedua manik hitam matanya masih terpasang di kelopak matanya yang
menghitam karena lelah menantang malam. Perempuan itu bilang, ada dua alasan
kemungkinan matanya lenyap; pertama, karena matanya menempel pada layar
ponselnya sendiri yang menampilkan nama seseorang. Kedua, karena telah
bersarang di hati seseorang.
Kamu mendongak. Kutemukan kejut di
wajahmu yang penuh dengan garis-garis letih. Kamu menyahut, akhirnya kamu
ingat. Aku tersengat, apa kamu tahu jika tanganmu yang tergenggam sekarang,
sebenarnya menyimpan manik mataku? Lalu, kamu meneruskan ucapanmu. Kamu pernah
bertemu denganku – tapi bukan aku. Sorak girang yang gaduh di ruang hatiku
seketika lesap.
“Aku pernah bertemu denganmu,
seseorang mirip kamu. Ia adalah perempuan dari masa laluku,” ujarmu, lirih;
mungkin mulai dikoyak kenangan yang melarutkanmu. Kamu pun terus bercerita
tentang seseorang lain – yang perlahan terdengar samar dan tak lagi kudengar.
Dalam gelap yang mengggulung, aku
hanya melihat diriku yang runtuh di matamu, yang tak tahu ada cinta yang perlahan
luruh, karena terus menunggu. Apa kamu pernah tahu?
Teruntuk
Al, ini seranting kisah yang rapuh lainnya. Kutulis pada suatu sore yang cerah,
tapi aku mendengar guruh bertalu di kejauhan. Mungkin ada yang tengah meneriakkan
rindu.
0 Comments:
Post a Comment