Thursday, 12 February 2015

AL (2)


Mengingat AL masih kerap menyesaki ruang kepalaku, mungkin perlahan AL akan memiliki episodenya sendiri. Dan, semoga saja tidak bosan.
Di suatu hari yang mendung, saat langit dipilin-pilin awan abu-abu, aku menyambar secarik kertas, dan bait kecil ini kutulis:
“…hujan hari ini panjang, merinaikan kisah kita yang kerap mengulang. Padahal, kukira sudah jadi arang. Sebab, kutengok hati ini telah usang.”
Aku masih menyukai hujan, dan tengah jatuh cinta – padamu, Al.
“…hujan hari ini masih bertualang, merintikan cerita kita yang sering berpulang. Padahal, kukira sudah jadi kenang. Sebab, kita tak lagi saling memanggil sayang.”
Menurutmu, bagaimana laku orang yang jatuh cinta? Tengah malam, ketika kamu menyapaku – itu obrolan pertama kita, aku nyaris tak bisa melelapkan diri di tubuh hening yang sudah disiapkan malam. Tiap mataku terpejam, bayangmu menjelma hantu yang terus mengusik, aku takut – sebagaimana hantu, kita kerap bersembunyi darinya, tapi bukankah ia sosok yang selalu membuatmu dicekik rasa penasaran?
“…hujan hari ini terus menuang, membulirkan bincang kita yang belum bersua sumbang. Padahal, kukira sudah jadi perang. Sebab, pertemuan kita sering menuai guncang yang bersilang.”
Kemarin, aku mengatakan curahan hati pada kawanku. Kubilang padanya, rasanya aku sudah tidak waras. Aku melihat senyummu di lengkung sabit, bisik namamu dari desau angin, wajahmu pada siluet petang, dan renyah suaramu dalam keramaian. Lalu, setelahnya, aku akan tersenyum sendiri. Tak hanya itu, aku pun meraih ponselku, membaca ulang sejarah percakapan kita di ruang obrolan. Mendadak, itu menjadi bacaan favoritku. Kawanku bilang, aku tak harus ke rumah sakit jiwa, aku hanya perlu mengakui aku telah jatuh cinta, dan itu adalah padamu, Al.
“…hujan hari ini terasa menerawang, mengalirkan tatapmu yang mengundang. Padahal, kukira tak lagi kita bersisa, bagai padang gersang tak berkunang. Sebab, tatap matamu yang mengundang, sudah lama hilang.”
Hari ini, hujan sudah berakhir di langit perumahanku, walau gerimisnya masih malu-malu mencumbui jalan dingin depan pekaranganku. Aku sendiri – kecuali kamu menyebut sunyi sebagai teman hati, itu lain lagi. Tapi aku merasa riuh, kepalaku gaduh menuntut hadirmu di manapun. Aku berusaha mengusir pergi pikiran yang tak henti menguliti hati yang sendiri. Hasilnya, aku ingin membagikan semua yang kutahu dan kurasa padamu, agar sepi tak lagi berusaha mengoyakku. Karena tiba-tiba, aku meraung-menggelepar di depan teras rumahku, hingga orang-orang dengan ribut dan paniknya mendatangiku, merecoki dengan tanya mengapa. Aku hanya bilang, aku didera rindu yang tak berkesudahan, dan hati ini terlalu sibuk menghasilkan cara baru untuk terus mencintaimu.
“…Al, pada akhirnya, harus kukatakan padamu, aku menyemat cinta di tiap mendung yang penuh teka-teki, seperti kamu yang masih serupa tanda tanya. Dan, cinta tak pernah terlambat menemukan jalan pulang. Tertanda rindu, perempuan yang diterungku dalam kedalaman mata sayumu.”

0 Comments:

Post a Comment