Apakah
kamu pernah datang ke suatu tempat karena sebuah janji dengan seseorang, lalu
seseorang itu sudah memesan tempat dan minuman untukmu. Lalu, ia menunggumu
agar datang – sesungguhnya, kamu sudah datang bermenit-menit lalu, hanya saja
kamu tidak menampakan diri. Kamu justru mencari dinding gelap, pepohonan atau
bahkan tubuh malam, berusaha menyembunyikan dirimu darinya. Aku pernah melakukannya.
Pada sepenggal malam, disaksikan selengkung sabit yang bertanya-tanya.
Ia
adalah lelaki yang pernah mengirimiku pesan. Ia bilang jika ia membaca
puisi-puisiku di sebuah situs. Dan, katanya ia terjebak. Sejak itu ada hantu
yang menggangu tidurnya, dan ia takut hantu itu berwujud aku. Aku tergelak
ketika membaca chatnya, bagaimana mungkin kamu bisa menyatakan ingin kopi darat
dengan menyebutnya hantu? Tapi, itu yang membuatku tertarik padanya. Malam itu
kita bertemu, dan dia masih berbicara tentang sosok-sosok hantu yang membuatku
benar-benar terganggu – karena rasanya aku juga pernah mendengarnya. Aku
curiga, mungkin saja ia berkata jujur; jika ada hantu bermukim di antara
larik-larik puisiku. Dan, ketika ia memintaku untuk menemuinya sekali lagi –
malam ini, aku memilih bersembunyi; mencoba menjadi hantu.
Aku
menangkap kegelisahannya – memesan bercangkir-cangkir kopi, menyala-matikan
laptop, memandang resah layar ponsel dan mengumpat sesekali. Aku mencoba
mengingat-ngingat puisi-puisiku di situs itu, dan mengapa aku menulisnya.
Gonggongan anjing yang terdengar di balik semak-semak, membuatku tersadar. Itu
puisi yang aku tulis tentang seseorang – yang berpulang bulan kemarin, setelah
tubuhnya ditemukan membusuk di dalam kulkas pada rumahnya. Sebelumnya seseorang
itu pernah menemuiku dan bilang, ia takut pada seorang lelaki yang mengatainya
hantu. Membentaknya dengan kata hantu. Padahal, lelaki itu sendiri yang bagai
hantu dalam hidupnya.
Aku
gemetar. Lelaki itu menatapku dengan mata cokelatnya yang berkilat di antara
remang lampu kafe. Itu lelaki yang pernah mengatakan seseorang dalam puisiku
sebagai hantu – aku baru ingat. Dan, kini seseorang itu benar-benar menjadi
hantu seperti yang lelaki itu olokkan padanya. Hantu yang tak hanya berumah di
puisi-puisiku, tapi juga tubuhku, yang kini beringsut keluar dari balik pohon. Menyambar
sebuah batu besar, menyembunyikannya di belakang punggungku, menunggu waktu
yang tepat untuk mendarat pada kepala seorang lelaki yang semasa hidupnya
mengoloknya hantu.
aku melihat hantu pada
puisi-puisimu. Aku tertarik. Karena hantu itu sebelumnya adalah kekasihku.
0 Comments:
Post a Comment