Dulu
– mungkin sampai hari ini, aku kerap menganggap jika tidur adalah salah satu
cara malam menyembunyikan kejahatan yang dipunyainya. Malam membius orang-orang
hingga terlelap, agar menjaga mereka tetap terpejam, malam pun menghadirkan
mimpi-mimpi untuk menemani tidur – agar tidak membosankan, mengingat malam
ingin orang-orang mati sejenak dalam waktu berjam-jam. Lalu, seseorang datang
padaku, mengajakku untuk menantang malam; dengan terjaga dan mengintip apa yang
malam sembunyikan selama ini.
“Kau bisa menghabisi malam dengan secangkir kopi.”
“Kau bisa menghabisi malam dengan secangkir kopi.”
Begitu
katanya. Lalu, kami pun menyusuri bahu jalan yang dihinggapi remang lampu kota;
tempat malam biasanya bersarang. Dan, benar saja. Jika malam adalah waktunya
tidur, malam sendiri tidak pernah tidur. Aku mendengar suara malam lewat
teriakan melengking seorang perempuan di gang sempit. Aku melihat tubuh malam
lewat beberapa tubuh pria paruh baya yang bergelung di pinggir pertokoan. Aku
menyaksikan pergerakan malam lewat sebotol bir yang dituang di sebuah bar kafe.
Aku merasakan denyut malam lewat sebuah bangunan gelap yang di dalamnya riuh
oleh dentam musik dari piring yang diputar dan permainan gemerlap lampu. Banyak
lagi.
Aku
pun memutuskan untuk pulang. Bahkan, kompleks perumahanku, yang malam hadirkan
sunyi dan hening sebagai musik pengantar tidur orang-orang, tak pernah
benar-benar tidur. Aku mendengar ribut-ribut kecil dari sebuah rumah kecil yang
lampunya hanya menyala satu. Lalu isak tangis dari jembatan antar-kompleks. Suara
derik serangga malam dan rerumputan yang bergesek dicumbui angin, mengiringi
tiap langkahku yang mulai bergegas. Seseorang itu tertawa. Wajahnya temaram
oleh berkas cahaya purnama. Ia bilang, tak perlu takut.
“Kau
bisa bertengkar sekaligus bercinta dengan malam lewat secangkir kopi.”
Seseorang
itu bilang padaku, malam adalah rahasia, yang tak akan pernah aku tahu sebelum
aku benar-benar terjaga. Tepat ketika seseorang itu ditelan semak-semak yang
menghitam pada malam yang memekat, aku mendengar suara lain memanggilku
kerasnya. Mataku seakan terbuka untuk kedua kalinya.
Aku
bermimpi. Tadi itu adalah mimpi. Tapi, jika ia benar semuanya adalah mimpi, mengapa
subuh ini aku melihat seseorang dalam mimpiku itu berdiri di seberang kompleks
perumahanku. Tangannya melambai padaku sembari bibirnya bergerak seolah hendak
menyampaikan sesuatu.
Kau baru saja melihat coreng-coreng
di wajah malam. Malam malu, dan ia menidurkanmu begitu saja. Ingin menyergap
malam sekali lagi? Terjagalah dengan secangkir kopi, aku akan datang,
memandumu menjelajahi rahasia malam.
0 Comments:
Post a Comment