Monday, 26 January 2015

Tidur dan Skenario Malam


Dulu – mungkin sampai hari ini, aku kerap menganggap jika tidur adalah salah satu cara malam menyembunyikan kejahatan yang dipunyainya. Malam membius orang-orang hingga terlelap, agar menjaga mereka tetap terpejam, malam pun menghadirkan mimpi-mimpi untuk menemani tidur – agar tidak membosankan, mengingat malam ingin orang-orang mati sejenak dalam waktu berjam-jam. Lalu, seseorang datang padaku, mengajakku untuk menantang malam; dengan terjaga dan mengintip apa yang malam sembunyikan selama ini.
“Kau bisa menghabisi malam dengan secangkir kopi.”
Begitu katanya. Lalu, kami pun menyusuri bahu jalan yang dihinggapi remang lampu kota; tempat malam biasanya bersarang. Dan, benar saja. Jika malam adalah waktunya tidur, malam sendiri tidak pernah tidur. Aku mendengar suara malam lewat teriakan melengking seorang perempuan di gang sempit. Aku melihat tubuh malam lewat beberapa tubuh pria paruh baya yang bergelung di pinggir pertokoan. Aku menyaksikan pergerakan malam lewat sebotol bir yang dituang di sebuah bar kafe. Aku merasakan denyut malam lewat sebuah bangunan gelap yang di dalamnya riuh oleh dentam musik dari piring yang diputar dan permainan gemerlap lampu. Banyak lagi.
Aku pun memutuskan untuk pulang. Bahkan, kompleks perumahanku, yang malam hadirkan sunyi dan hening sebagai musik pengantar tidur orang-orang, tak pernah benar-benar tidur. Aku mendengar ribut-ribut kecil dari sebuah rumah kecil yang lampunya hanya menyala satu. Lalu isak tangis dari jembatan antar-kompleks. Suara derik serangga malam dan rerumputan yang bergesek dicumbui angin, mengiringi tiap langkahku yang mulai bergegas. Seseorang itu tertawa. Wajahnya temaram oleh berkas cahaya purnama. Ia bilang, tak perlu takut.
“Kau bisa bertengkar sekaligus bercinta dengan malam lewat secangkir kopi.”
Seseorang itu bilang padaku, malam adalah rahasia, yang tak akan pernah aku tahu sebelum aku benar-benar terjaga. Tepat ketika seseorang itu ditelan semak-semak yang menghitam pada malam yang memekat, aku mendengar suara lain memanggilku kerasnya. Mataku seakan terbuka untuk kedua kalinya.
Aku bermimpi. Tadi itu adalah mimpi. Tapi, jika ia benar semuanya adalah mimpi, mengapa subuh ini aku melihat seseorang dalam mimpiku itu berdiri di seberang kompleks perumahanku. Tangannya melambai padaku sembari bibirnya bergerak seolah hendak menyampaikan sesuatu.
Kau baru saja melihat coreng-coreng di wajah malam. Malam malu, dan ia menidurkanmu begitu saja. Ingin menyergap malam sekali lagi? Terjagalah dengan secangkir kopi, aku akan datang, memandumu menjelajahi rahasia malam.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment