Seseorang pernah menemuiku di suatu
malam hanya untuk menanyakan kapan aku akan jatuh cinta. Ia menawarkan gelas
kertas dengan kepul macchiato di
atasnya padaku, aku menggeleng. Ia bilang, cara terbaik mendengarkan ritme dan
menikmati gerak tubuh malam, adalah berbatang-batang tembakau dan segelas
kafein. Melihatku hanya diam memperhatikan tawanya, ia pun bertanya kembali.
Mengulang tanya yang sama; kapan aku akan jatuh cinta.
Seseorang yang sama, kembali menemuiku di suatu malam untuk menanyakan tanya yang tak kujawab kemarin. Kali ini ia tidak duduk di beranda rumahku atau mengajakku bercengkerama di kursi rotan itu. Ia langsung menerobos masuk ke ruang tengah, ia tahu aku memiliki sebuah organ tua peninggalan nenekku, yang tak pernah kumainkan. Ia duduk di atas bangku reyot itu – yang berdecit ketika digeser. Memainkan kerapuhan Beethoven dalam Quasi una Fantasia – ia selalu menyebutnya demikian, komposisi sonata no. 14, Op. 27, No.2 itu, terlalu muram untuk dinamai Moonlight Sonata.
Seseorang yang sama, kembali menemuiku di suatu malam untuk menanyakan tanya yang tak kujawab kemarin. Kali ini ia tidak duduk di beranda rumahku atau mengajakku bercengkerama di kursi rotan itu. Ia langsung menerobos masuk ke ruang tengah, ia tahu aku memiliki sebuah organ tua peninggalan nenekku, yang tak pernah kumainkan. Ia duduk di atas bangku reyot itu – yang berdecit ketika digeser. Memainkan kerapuhan Beethoven dalam Quasi una Fantasia – ia selalu menyebutnya demikian, komposisi sonata no. 14, Op. 27, No.2 itu, terlalu muram untuk dinamai Moonlight Sonata.
“Jadi, kapan kamu akan jatuh cinta?”
tanyanya, ulangnya. Kali ini ditemani tragedi yang ditulis Beethoven dalam
sonatanya, dan pertanyaan itu berhasil membuatku bergidik. Aku tetap tidak
menjawabnya sampai ia memainkan salah satu karya Debussy lainnya, tidak
jauh-jauh dari bulan. Clair De Lune.
Jawabku masih menggantung, seperti purnama pucat malam itu.
Dan, ini sudah malam ketiga ia
datang mengunjungiku. Ia tidak membawa apapun untuk melembamkan hati atau
melakukan aksi penuh kejutnya. Bisu mengunci, membiarkan hening merajai. Entah.
Justru diamnya mampu menggedor-gedorku dengan tanya yang masih menunggu jawab. Matanya
bersarang di semak-semak yang tumbuh di tepian kali, di seberang rumahku.
Seolah berkumpul dengan pasang-pasang mata hewan malam lainnya, mengintaiku
dari bilik sunyi. Sedangkan tak ada satupun di antara kita yang ingin mengalah
untuk merusak hening ini. Jeda yang panjang itu memberi waktu padaku untuk
memutar ulang malam-malam sebelumnya. Kapan
aku akan jatuh cinta.
“Baiklah, jadi kapan kamu akan jatuh
cinta?”
Aku tersentak oleh suaranya yang
berat, yang membuyarkan teka-teki. Aku
tersenyum.
“Tepat ketika aku tak mampu menjawab
pertanyaanmu.”
Rasanya, aku telah jatuh cinta.
0 Comments:
Post a Comment