Rein, malam itu kamu bilang padaku,
ingin mendengar sajak tentang nyamuk. Kukira, itu karena kamu baru saja usai
menuntaskan Dewi Lestari dengan Rectoverso-nya.
Di sana ada perkara cecak dan nyamuk. Tentang cecak yang diam-diam merayap dan
‘hap!’, nyamuk terperangkap selamanya. Itu pengorbanan yang utuh. Tapi, kurasa
kamu ingin mendengar sajak yang lain. Aku hanya takut jika larik dalam tiap
bait ini nantinya mengisahkan cerita yang berbeda, dan apa pun yang tersisa
tentang kita akan melapuk.
seekor nyamuk seusai hujan. kesendiriannya mengeja tanya
seekor nyamuk seusai hujan. kesendiriannya mengeja tanya
apa
hujan tadi menyesatkannya. atau ia diam-diam mengintai kita
karena
itu nyamuk yang sama, yang menggigitku dengan probosisnya
tepat
ketika kamu menyarangkan mata
sejak
itu, bukan hanya liurnya yang ada di tubuhku
tapi
juga bayangmu yang meningkahi ruang kepalaku
seperti
gelayut gelisah larva nyamuk yang ingin segera tumbuh
seekor
nyamuk seusai hujan. rapuhnya meresahkanku
kita
berdua tahu, nyamuk itu akan mati dalam beberapa hari lagi
ingin
kubertanya, kemana lagi kita akan berlabuh
sedang
puisi yang membuat kita berbincang adalah tentang nyamuk
tahukah
kamu, dinding yang terbentuk justru mengundang peluk
seekor
nyamuk yang usai dalam hujan. bangkainya rusak bergumpal bersama darah
kamu
adalah hujan yang menyesatkan dan pelan-pelan membunuh nyamuk
hujan
yang sama, yang menahan rasaku untuk tidak sembarang meliuk; padahal ini
tentang kamu
namun,
kamu biarkan kisah kita mati bersama nyamuk
dan melapuk
Kali ini, biar kubisikan sesuatu.
Apa kamu tahu, ketika hujan, nyamuk selalu berusaha bertahan hidup. Karena
rerintik hujan mampu memperlambat laju terbang nyamuk. Tapi, ia tetap berusaha
hidup dan hujan tetap turun. Kamu adalah keduanya, Rein. Kamu hujan yang teduh
dan nyamuk yang tangguh. Tapi, untukku, kamu ialah hujan yang menggelisahkan
kenanganku dan nyamuk yang diamnya membunuhku. Lagi-lagi, ini untuk seseorang
yang meminang hujan dalam namanya, Rhein Mahatma.
0 Comments:
Post a Comment