
Seperti
yang kubisikan di awal, ini cerita yang tidak terlalu menarik, hanya sepintas
lalu dan melintas sejenak. Tapi entah, sejak beberapa hari lalu manik mataku
menangkap sosok kakek tua itu, mengabaikannya menjadi hal yang sulit. Aku duduk
di balik jendela kamar yang muram oleh terpaan sinar terik siang dan hujan
rintik-rintik kemarin malam, sembari menghitung waktu yang sudah terlampau
tahun, dan kakek itu masih memiliki aktivitas yang sama; mengumpulkan kardus
bekas dengan sepeda usangnya. Mungkin selepas kanak-kanak, aku bukannya tidak
pernah melihatnya lagi seperti itu, tapi karena hampir tidak pernah aku
melewati gang perumahan yang kumal itu lagi. Tak pernah menemukannya lagi, bukan
berarti ia berhenti mengumpulkan kardus bekas untuk koin-koin rupiah dan
hidupnya sehari-hari. Berbagai kemungkinan jumpalitan di ruang kepalaku yang
sesak; rasanya tahun baru tak benar-benar baru untuk kakek tua itu. Hatiku
ringsek.
Aku
ingat terakhir kali aku mengamatinya, menjelang senja. Saat beliau memarkirkan sepedanya
di balik tong sampah besar yang lebih seperti drum minyak. Beliau bercengkerama
sesaat dengan tukang agen grosir yang tengah mengangkat barang-barang. Cukup
lama sebelum akhrinya salah satu tukang itu membantu si kakek mengeluarkan
kardus-kardus, dan menginjak-injaknya agar lebih mudah diikat. Seikat kardus
untuk nantinya – mungkin ditimbang dan bersulap menjelma seikat rupiah. Benakku
terusik.
Sudah
kubilang tadi, ini kisah kecil. Lalu, berakhir di sini. Tak ada yang khusus,
spesial ataupun istimewa. Tapi, si kakek tua pengumpul kardus itu seakan
berhasil mengatakan padaku, teratai tetap putih walau ia tumbuh di genangan
lumpur yang kotor, dan, mata tetap berbinar walau ia bersinar di antara pekatnya
gelap malam. Lagi-lagi, beliau berhasil melarutkanku dalam doa.
0 Comments:
Post a Comment