Jarang
sekali aku menghabiskan waktu di tanah belakang rumahku. Padahal, senja yang
jatuh di sana tiap sorenya, selalu tampak indah. Ada pepohonan lebat yang
tumbuh di sana, tiap jingga menggurat, burung-burung kecil hinggap di dahan
pohon, terbang ke sana-sini. Kabel-kabel listrik dan antena yang terpancang di
atap-atap rumah, terlihat jelas dari belakang rumahku. Itu pemandangan
sederhana yang teduh. Tapi, karena suatu hal, aku jarang mengunjungi tanah
belakang rumahku.
Sekitar
seminggu yang lalu, sekelompok pemuda dan Pak RT beramai-ramai menancapkan sebuah
lampu temaram berpendar oranye di balik tembok yang membatasi tanah belakang
rumahku dengan kompleks perumahan di belakangnya. Lampu itu mirip lentera.
Cahayanya berdenyar hingga memenuhi halaman belakang rumahku, menimbulkan
keremangan yang tidak aku suka.
Lewat
bisik-bisik yang dimainkan angin, aku mendengar, lentera itu sengaja dipasang
agar jalan kompleks perumahan itu yang tidak terlalu lebar, tidak gelap dan
dimakan malam. Lentera itu ada atas usulan seorang lelaki yang kerap pergi
keluar rumah pada malam hari, dan selalu merasa ada mata yang mengintainya
dalam gelap yang membutakannya. Warga di sana pun setuju, pada dasarnya, orang
memang selalu takut pada gelap yang terlalu hitam dan menutupi pandangan.
Padahal, ada alasan lain mengapa jalan itu sebelumnya tak pernah dipasang
lentera. Aku tahu, dan mungkin lelaki pengusul itu pun tahu. Maka itu, ia
mengusulkan lentera – berharap ada yang pergi dari kegelapan. Aku tergelak,
sesungguhnya kegelapan tak pernah pergi dari mereka yang memelihara gelap lain
dari dalam dirinya. Terlebih mulut terkunci untuk melindungi gelap lain
dipunyainya.
Seperti
yang kubilang tadi, ada alasan lain mengapa halaman belakang rumahku pun tidak
pernah dipasang lampu neon sebagai penerang. Tetap dibiarkan gelap. Sama
seperti jalan itu. Menancapkan tiang lampu dan menggantungkan lentera oranye di
sana sama saja menampakkan sosok pemilik sepasang mata pengintai gelap itu.
Jika biasanya dalam gelap ia hanya mengekori langkahmu dan menjilati
bayanganmu, ketika ia sudah terlihat, bukan tak mungkin kamu akan menjerit
ketakutan, berlari cepat-cepat ke tempat yang lebih ramai dan terang – yang itu
berarti ujung kompleks perumahan, tempat lalu lalang kendaraan melaju kencang,
tak peduli siapa yang lewat tiba-tiba, langsung diterabas. Ketika sudah
terlihat, bukan tak mungkin ia akan nampak lebih jelas, matanya berdarah dan
berbau busuk, kamu pun mematung dan pingsan karenanya. Saat kamu tak sadarkan
diri itu, diam-diam ia mengajak sukmamu untuk ikut menunggu di sana – di jalan
remang di balik halaman belakang rumahku, yang tiap malamnya kucium bau melati
dan sayup isak duka, karena pernah ditemukan mayat perempuan sebaya denganku
yang membusuk di kali sempitnya. Mayat yang matanya terbelalak lebar, seakan
mengatakan pada siapapun yang menemukannya; ia belum siap mati, ia masih ingin
hidup dan terjaga. Sebab, ada gelap lain yang harus dipasangi lentera.
0 Comments:
Post a Comment