Sebelumnya,
ingin kuberitahu, aku punya kebiasaan aneh. Ketika jarum jam merangkak menuju
angka sebelas dan menggelitik malam, hingga ia terkikik-kikik, yang suaranya
terdengar jelas lewat gesekan rerumputan dan semak belukar, lewat rebut-ribut
kecil angin, lewat cumbu dahan pohon dan lewat derik serangga malam, aku kerap
menyeret kursi dan meja plastik tua dari beranda rumah ke pekarangan. Terlebih
ketika malam mematut dirinya dengan taburan bintang dan sepotong rembulan, aku
rela dipinang malam – bahkan ketika ia hanya tampil apa adanya; pekat polos
hitam dengan selengkung sabit kecil di tubuhnya yang telentang.
Malam
ini, kebiasaan itu kumat. Aku menunggu dengkur dari ruang kamar orang tuaku
terdengar, lalu pelan-pelan, aku akan mengendap ke luar rumah. Menemui malam
yang sudah menungguiku berlarut-larut. Kami pun bercengkerama sesaat sebelum
bau asap itu menyapa penciumanku. Wajahku berkerut, itu bukan kepul asap
beraroma macchiato favoritku atau gumpal
asap hangat teh hitamku. Ini asap yang membuat riasan wajah malam sedikit
cacat. Ketika kuputar pandanganku, akhirnya aku menemukan dua orang bapak paruh
baya yang nyatanya tengah berbincang seru, di depan setumpuk sampah yang tengah
terbakar, yang asapnya membumbung tinggi, lalu dimainkan angin, menyinggahi
tiap pasang mata yang belum lelap.
Dua
orang bapak yang pakaiannya disamarkan oleh gelap malam, tanpa adanya penerangan
lampu kompleks, membuatku tidak mampu melihat dengan jelas apa yang mereka
kenakan; apakah cukup untuk menangkis udara malam yang mulai bertingkah. Tapi,
malam yang kerap dihuni sunyi, berhasil membuatku mendengar jelas perbincangan
mereka.
“Aku
tidak terlalu suka pijar dan bara api, terlebih ketika menjelang tengah malam.”
Aku
memicingkan mata. Berharap akan ada remang yang bisa memperjelas wajah si bapak
yang tengah memecah hening. Aku merasa waktu bergerak lambat, malam seolah ikut
mencuri dengar obrolan mereka; yang terasa janggal bagiku, sebab, benakku
meraung menyatakan aku pernah melihat salah satu di antara dua bapak itu.
“Ini
hanya bakar sampah biasa, akan padam dalam beberapa menit lagi. Maaf sudah
mengganggumu dengan asapnya.”
“Bukan.”
“Lantas?”
Malam
terlihat melipat tubuhnya; awan-awan gelap itu berbaris menutupi purnama, seakan diam-diam tengah melindungi tersangka.
Bintang-bintang yang bergelantungan, mulai berkedip-kedip gemetar, seolah sebentar lagi akan ada yang terbongkar. Aku
terhenyak, perubahan tingkah malam mengatakan padaku jika malam mengenal bapak
itu. Udara malam berbisik padaku untuk lari, seakan tahu jawab apa yang akan
diucapkan bapak bermata kosong itu.
“Karena
api, pernah menjilat-jilat tubuh istri dan anak perempuanku, malam itu,”
ujarnya sembari menyinggahi tatap matanya padaku, yang ditinggal malam yang
kalut karena takut menyambut si Bapak yang beringsut untuk membunuh. Malam tiba-tiba gaduh.
0 Comments:
Post a Comment