‘selamat
melipat 2014 dalam kenang dan menyapa 2015 penuh tantang’ jumpalitan
dimana-mana. Ia juga mengusik malam dengan pijar api yang berkembang di langit,
tanpa henti, dimulai sejak pukul nol-nol menepi. Aku meringkuk di sudut kamar
yang riuh akan sunyi, hanya lima menit membiarkan diri larut dalam kawanan
ramai yang memiliki ratusan penghuni. Biar kuceritakan lima menit singkat itu,
ketika aku mendapati malam terasa asing, karena sorak keramaian dan kesunyian
yang biasa merebah di tubuh malam; saling mengancam. Aku menemukan sunyi
terkapar di pojok sepi dalam ruang hening yang hampir mati. Gelayut resah
seketika bergeliat, mencipta rasa janggal di bilik hati. Aku terus bertanya,
apa yang membuatnya ganjil. Apa karena hujan hari ini berusaha merebut hati
malam, dengan cara membunuh senja? Namun, nyatanya hujan justru diusir oleh
malam yang bersedih; lihatlah, setelah tubuhnya diserang berkali-kali oleh
gaduh dan pancaran pijar, malam berkali-kali berusaha membujuk sunyi untuk pulang
kembali meniti dini hari. Hujan yang dicampakkan, menerabas fajar, menelikung
subuh dan berakhir dengan langit kelabu penuh awan mendung di pagi yang
berkabut.
“Mungkin
kamu gelisah, kita semua sibuk menggantung angan-angan baru pada purnama yang tak
pernah baru. Justru semakin menua,” katanya yang tiba-tiba muncul dari jalan
lenggang di kompleks perumahanku. Ia bersandar pada pagar rumah yang cat
warna-warninya sudah mengelupas oleh waktu, dan usang dierat zaman.
Rasa-rasanya, ia benar. Aku terus-menerus mengecek layar telepon genggamku,
menghitung mundur menit yang katanya akan menuju baru dan terlahir kembali.
Sedangkan di langit sana, purnama bersembunyi; ketakutan. Aku memandang nanar,
ini meriah yang terasa menyiksa; membuatku hanya teronggok diam. Bukan karena
akan meninggalkan, tapi lebih karena segalanya terasa sama; perayaan dan
peringatan.
“Lantas,
kamu ingin seperti apa, sayang. Tak mungkin menyapa lembaran kalender baru
dengan sakramen sunyi. Lagipula, pijar api yang berkembang indah itu, mengingatkan
ada banyak keluarga dan sahabat yang saling berkumpul, menyisihkan ego mereka,
menanggalkan jam sibuknya dan kembali pulang.”
Aku
tersenyum. Mungkin aku terlalu terjerat memori silam hingga sulit melangkah.
Mencari yang istimewa, namun segalanya tetap biasa. Lalu aku menyalahkan apa
yang sesungguhnya berusaha disuguhkan Tuhan dalam ceria. Walau tahun itu
ditutup dengan berita tragedi. Aku membasuh wajahku dengan debu dan udara
malam. Mungkin ini saatnya melarutkan diri dalam doa. Aku membutuhkan lebih
dari sekadar telinga.
“Kamu
tidak menulis resolusi?”
“Tidak,
aku hampir tidak pernah merencanakannya tiap tahun. Tapi kamu bisa membaca
resolusiku, pada kenang-kenang tahun kemarin, tahun sebelumnya, tahun yang
berlalu-lalu dan silam. Pada kenang yang belum kuselesaikan dan kulepas, ada
resolusiku di sana.”
Kamu
menggeleng, tersenyum. Lalu berbisik, selamat menjejaki titian baru, dan
berhentilah menapak tilas masa lalu.
0 Comments:
Post a Comment