
“Mungkin
kamu gelisah, kita semua sibuk menggantung angan-angan baru pada purnama yang tak
pernah baru. Justru semakin menua,” katanya yang tiba-tiba muncul dari jalan
lenggang di kompleks perumahanku. Ia bersandar pada pagar rumah yang cat
warna-warninya sudah mengelupas oleh waktu, dan usang dierat zaman.
Rasa-rasanya, ia benar. Aku terus-menerus mengecek layar telepon genggamku,
menghitung mundur menit yang katanya akan menuju baru dan terlahir kembali.
Sedangkan di langit sana, purnama bersembunyi; ketakutan. Aku memandang nanar,
ini meriah yang terasa menyiksa; membuatku hanya teronggok diam. Bukan karena
akan meninggalkan, tapi lebih karena segalanya terasa sama; perayaan dan
peringatan.
“Lantas,
kamu ingin seperti apa, sayang. Tak mungkin menyapa lembaran kalender baru
dengan sakramen sunyi. Lagipula, pijar api yang berkembang indah itu, mengingatkan
ada banyak keluarga dan sahabat yang saling berkumpul, menyisihkan ego mereka,
menanggalkan jam sibuknya dan kembali pulang.”
Aku
tersenyum. Mungkin aku terlalu terjerat memori silam hingga sulit melangkah.
Mencari yang istimewa, namun segalanya tetap biasa. Lalu aku menyalahkan apa
yang sesungguhnya berusaha disuguhkan Tuhan dalam ceria. Walau tahun itu
ditutup dengan berita tragedi. Aku membasuh wajahku dengan debu dan udara
malam. Mungkin ini saatnya melarutkan diri dalam doa. Aku membutuhkan lebih
dari sekadar telinga.
“Kamu
tidak menulis resolusi?”
“Tidak,
aku hampir tidak pernah merencanakannya tiap tahun. Tapi kamu bisa membaca
resolusiku, pada kenang-kenang tahun kemarin, tahun sebelumnya, tahun yang
berlalu-lalu dan silam. Pada kenang yang belum kuselesaikan dan kulepas, ada
resolusiku di sana.”
Kamu
menggeleng, tersenyum. Lalu berbisik, selamat menjejaki titian baru, dan
berhentilah menapak tilas masa lalu.
0 Comments:
Post a Comment