1
Tadi
pagi, aku pulang dengan hujan di sekujur tubuhku. Habis menemui seseorang yang
kemarin malam meneleponku agar datang mengunjunginya. Katanya, ia ingin
bercerita. Akhir-akhir ini, ia mengaku, ada monster yang hidup dalam kepalanya.
Monster itu bergelayut gelisah, selalu berhasil meresahkannya tiap hujan
menjelang. Maka itu, saat aku menyambangi rumahnya di pagi yang berkabut oleh
mendung, ia menggelepar di lantai kamarnya. Ia baru menyadari, itu bukan
monster. Melainkan sosok bayangan seseorang dari masa lalu. Sementara ia
terkapar dengan mata yang seakan siap mengibarkan ruh, sudut mataku sempat
singgah di halaman belakang rumahnya yang menguarkan bau busuk menyengat;
segumpal daging merah berdarah yang sudah busuk tergeletak di sana. Tiba-tiba
ia berteriak meminta maaf dan memohon ampun. Aku gemetar, membayangkan ada
hantu yang tak bisa ia bunuh, bersarang di kepalanya. Tiap hujan menjelang.
2
2
Tadi
siang, aku pulang dengan hujan di sekujur tubuhku. Baru saja aku kopi darat
dengan salah seorang sahabat jauhku. Matanya sembab, ia ingin berbagi cerita
hatinya. Kedai kopi kecil di pinggiran kota menjadi tempat temu kita. Aku
memesan poci kopi untuk menghangatkan tanganku yang mulai gigil disergap udara
dingin hujan, sedangkan ia tidak memesan apa-apa. Wajahnya pucat, sedari tadi
ia memegangi perutnya. Sesekali ia meringis di sela-sela ceritanya. Ia bilang, beberapa
minggu lalu ia menjalin kasih dengan seorang lelaki. Aku tertarik, itu yang
memang ingin kutanyakan, ia sempat berseri-seri di ruang obrolan virtual ketika
mengisahkannya padaku. Tapi kali ini berbeda. Ia justru menangis, seakan
ceritanya bisa kubaca dan kudengar lewat isaknya. Sayup, di antara isaknya yang
semakin gaduh dan berhasil mencuri perhatian pasang mata orang di kedai itu,
aku mendengar patah-patah katanya. Tentang segenggam nyawa yang sempat hidup di
perutnya dan ia keluarkan secara paksa; pada sebuah hujan yang deras, dan air
matanya terkuras.
3
3
Tadi
sore, aku pulang dengan hujan di sekujur tubuhku. Seorang kawanku yang sudah
resmi berseragam polisi setahun lalu, menghubungiku. Katanya ia tengah
menangani kasus yang mengusik nuraninya. Ia katakan padaku, ada seorang
perempuan yang membunuh kekasihnya di rumahnya. Diduga karena perempuan itu dendam
pada kekasihnya yang sempat memaksanya untuk membunuh janin di rahimnya. Fakta
yang mengejutkan kawanku itu, kekasih perempuan itu membuang ‘mayat’ janin ke
halaman belakang rumahnya. Membiarkan gumpal darah itu teronggok mengerikan
disapu derasnya hujan. Kekasih perempuan itu memang gila, dikenal tetangganya
sering kali berteriak-teriak dan menggelepar sendirian di lantai rumahnya tiap
kali langit berkabung dalam hujan. Wajahku mengeras, kutanyakan pada kawan
polisiku, apakah perempuan itu ditahan, kawanku bilang, perempuan itu mati
bunuh diri setelah menghabisi kekasihnya. Aku diam, nafasku bagai lesap. Mataku
mengikuti tiap rintik hujan yang jatuh, aku merasa hujan hari ini begitu
panjang dan gelap, seperti melagukan kesedihan dan duka tak berkesudahan.
0 Comments:
Post a Comment