Ini baru
tiga puluh hari terakhir aku melewati jalan itu. Tepi jalan itu terbentang
panjang; berupa trotoar bersih yang memiliki tumbuhan di beberapa titik
tengahnya. Hampir tiap sore aku meniti bahu jalan yang menceritakan padaku
tentang orang-orang. Biar kugambarkan padamu.
Aku melihat dua orang perempuan, yang duduk membelakangiku.
Keduanya saling mematri persahabatan dalam kaitan tangan; memandangi lanskap
danau yang terhampar luas di depan mereka. Kuperhatikan punggung mereka kerap
berguncang, menahan cekikik tawa dan saling melepar guyon untuk mewarnai sore
yang teduh.
Langkahku kembali menjejak, menapaki bahu jalan yang masih jauh
tergelar di depan. Setelahnya, aku menemui dua orang pria paruh baya yang duduk
di tepi trotoar, memainkan batang tembakau yang mereka isap. Keduanya
berpakaian sedikit kumal, sepertinya baru saja selesai melakukan kerjaan yang
berat, yang melibatkan fisik – kutemukan noda tanah yang liat di sisi bajunya
dan beberapa bercak hitam menepel di lengan mereka. Tapi itu tak membuat mereka
berhenti mengobrol dan sesekali menyunggingkan senyum sederhana.
Lain lagi dengan beberapa langkah di depan mereka. Ada segerombol
anak remaja yang menggelar tikar di tengah trotoar berumput itu; saling
berkumpul membentuk lingkaran dan bermian kartu remi. Beberapa di antara mereka
memegang batang rokok dan minuman berwarna. Saling menukar tinju dan canda, tak
peduli senja mulai menua.
Ada tikar lain lagi yang tergelar; oleh sebuah keluarga. Mereka
hendak membuat pinkik kecil. Aku mengamati si Ibu yang mengeluarkan botol minum
dari balik tas putihnya. Si Bapak duduk bersila dan menikmati tembakaunya. Si
Anak yang tahu entah ada dimana, sepertinya telah bergabung dengan anak-anak
kecil lain di taman bermain yang tak jauh dari trotoar luas dan danau itu.
Lalu, di sepanjang tepi jalan, berjejer rapi pedagang-pedagang
makanan kecil, juga berbagai jenis minuman yang dijual. Sesampaiku di ujung
trotoar, hanya ada sesosok pria paruh baya – perawakannya terlihat tua dan
tidak terurus, berdiri di balik pohon yang cukup besar dengan dibantu tongkat
kayunya, menatap sayu dan kosong pada orang yang berlalu-lalang di hadapannya.
Aku tersenyum, rasanya pahit dan masam. Dari seluruh potret yang berserak di
sepanjang trotoar luas dan danau megah itu, hanya ada satu yang tidak berubah
dari wajah senja; pria paruh baya bertongkat kayu itu.
Sore itu, aku mendongak melihat langit yang seperti biasanya;
menggurat jingga dan memendarkan cahaya temaram. Tapi hari itu, aku menangkap siratan
yang berbeda; sepenggal senja yang muram.
0 Comments:
Post a Comment