Aku
pernah berjanji, tidak akan lagi menulis tentang lelaki-lelaki yang sempat
mampir ke kepalaku tiap aku terbangun di suatu pagi, atau sebelum lelap di
sepenggal malam. Tapi, kali ini coba izinkan aku menuliskan kisah mengenai
seorang lelaki, lagi. Hanya sebuah cerita; yang sesungguhnya sudah lama
kusimpan, namun dalam tiap kesempatan sunyi, ia selalu mengusik. Karena ia
berhasil mendefinisikan cinta dengan arti lain. Mungkin saja, cinta adalah metafora untuk luka masa lalu. Adalah
ia, lelaki bermata sayu yang mengatakannya padaku.
Pertama kali – pada waktu-waktu yang sangat awal, aku bertemu dengannya ketika tubuhnya dilumuri malam. Ia duduk di sebuah ruangan penguji, mendengarkan penyampaian materiku. Lalu mengangguk-angguk sebelum akhirnya tersenyum, ia bilang, aku berhasil. Lambat akhirnya ingin kukatakan padanya, sejak itu, mataku tak pernah lepas darinya. Tiap kudapati sosok lelaki bertubuh mungil yang melumuri tubuhnya dengan malam, kaca mata cokelat tua yang membingkai mata sayunya dan langkah mantapnya, angin yang mendesau pun seakan membisikan namanya. Dan, malam melukis sosok bayangnya yang tersamar. Lantas, tanpa kutahu, kita bertemu lagi – awalnya aku tak mengenalinya, karena ia sudah menanggalkan seluruh perkamen malam di tubuhnya, berganti menjadi jaket berumput tua.
Pertama kali – pada waktu-waktu yang sangat awal, aku bertemu dengannya ketika tubuhnya dilumuri malam. Ia duduk di sebuah ruangan penguji, mendengarkan penyampaian materiku. Lalu mengangguk-angguk sebelum akhirnya tersenyum, ia bilang, aku berhasil. Lambat akhirnya ingin kukatakan padanya, sejak itu, mataku tak pernah lepas darinya. Tiap kudapati sosok lelaki bertubuh mungil yang melumuri tubuhnya dengan malam, kaca mata cokelat tua yang membingkai mata sayunya dan langkah mantapnya, angin yang mendesau pun seakan membisikan namanya. Dan, malam melukis sosok bayangnya yang tersamar. Lantas, tanpa kutahu, kita bertemu lagi – awalnya aku tak mengenalinya, karena ia sudah menanggalkan seluruh perkamen malam di tubuhnya, berganti menjadi jaket berumput tua.
Cerita
ini dengan mudah berakhir tepat seperti tatap sayu matamu. Cerita ini tepat
berada di ujung, sayu dan tidak tumbuh. Karena kita bertemu, untuk tahu jika ia
adalah kenangan yang tak akan pernah dibuat dan angan yang tak mungkin
disentuh. Mungkin saja, cinta adalah
sebutan lain untuk kesendirian yang menuai luka. Sejak awal, aku tahu,
kisah ini berakhir tepat ketika ia dimulai. Karena aku melihat luka pada rasa
yang bersikeras menyebut dirinya cinta.
Maka
inilah aku yang teronggok di waktu menjelang larut malam, mengintip purnama
yang sembunyi di balik awan hitam. Teringat sekali lagi tentangnya – ia mungkin
tak akan pernah tahu, ada seorang perempuan yang pernah ia uji di sebuah ruang
yang asing, dan perempuan itu diam-diam menyimpan segenggam matahari di antara
hujan; untuknya. Mungkin saja, cinta
adalah frasa untuk rasa yang tumbuh di antara luka.
Untuknya, seorang lelaki yang
bahkan tak menyadari jika ia punya tatap sayu, yang membuatku ingin membungkus
pulang matanya.
0 Comments:
Post a Comment