“…pada
malam yang larut itu, aku tahu ia akan datang. Menawarkan sekilas tamparan atau
sekepal tinju. Lalu, kujawabnya dengan sederhana; apa saja. Asalkan jangan
hajar aku dengan kenangan…” – dan, ia datang dengan pucat yang mengemas
wajahnya, menyodorkanku secangkir teh yang sudah dihinggapi udara dingin malam.
Hatiku lebam.
Aku dengannya tidak pernah dekat –
pertemuan kami hanya sebatas tatap mata sejenak dan senyum bisu yang dengan
mudah berlalu. Namun, ketika ia mengumumkan jika ia akan beranjak pergi dan
mengumpulkan kami semua dalam satu ruang rapat sederhana; untuk pesta
perpisahan, aku seperti didekap oleh masa silam yang masih tertinggal. Aku
tertangkap dalam sarang duka yang menebal. Kabut yang menyamarkan pandang
bergelayut di udara. Ruangan seperti tengah dirundung awan-awan abu.
Kudengar ia terus berbicara tentang
kepindahannya. Perlahan, aku melihat hujan di matanya. Dan, satu kalimat yang
membuatnya berhasil membunuhku; tak ada yang lebih ia rindukan kecuali
kekonyolan, hal tidak penting nan sederhana, kejadian-kejadian kecil dan
rutinitas bersama orang-orang di sekitarnya dibanding apapun.
Aku pernah berada di tempatnya. Duduk
di antara orang-orang, melagukan sajak-sajak perpisahan. Menghibur orang-orang
yang akan ditinggalkan. Kukatakan pada mereka, ini hanya sesaat – pada bintang,
kau bisa titipkan rindu; pada hujan, kau bisa selipkan cerita; pada fajar, kau
bisa sematkan harapan; pada senja, kau bisa sisipkan kisah; dan, pada purnama,
kau bisa patrikan potret kita. Tapi, kita semua menyerah juga pada akhirnya;
diremas isak dan gelapnya pejam mata, yang berusaha menahan waktu agar tak
terus bergerak dan menjadikan segalanya hanya memori.
Sejak itu, ada dinding hati yang
selalu basah oleh kenangan tiap hujan mendera; karena rintiknya terus mencipta
ingatan silam yang tak kunjung usai. Menunggu hadir utuh seseorang untuk
mewarnai potret hitam putih jadi pelangi, lalu merangkulnya dalam peluk.
Gaduhnya masa lalu selalu mengukung, dan aku terus menunggu.
“Katakan
padaku, selain ponsel dan surat, apa yang membuat kita terus bersama?”
“Banyak.
Bukan ponsel, ruang obrolan atau surat yang menghubungkan kita. Itu semua hanya
akan teronggok diam, tanpa kita yang merawat rindu dan menjaga kenang agar
cinta tetap ada. Kita keluarga, dan itu lebih dari segalanya.”
0 Comments:
Post a Comment