Aku membiarkan kaca jendela tetap
terbuka. Desir udara malam mengetuk-ngetuk kusen jendela sebelum ia masuk,
meningkahi perabotan ruang kamarku yang ditinggali debu. Purnama yang
menggantung di hitamnya malam, menatapku dengan wajahnya yang pucat. Kau tahu,
yang tengah bermain di kepalaku adalah; bayangmu yang melompat-lompat di antara
api unggun. Maka, aku tak peduli ketika dingin berusaha menjeratku.
Satu-satunya yang membuatku gigil adalah mata sayumu yang menjaring kalbu.
tapi,
kemarin aku menemukan wajahmu menelikung subuh, bergeliat di sepanjang
doa-doaku
Kau bilang, akan memainkan
sonata-sonata Beethoven yang kukagumi, atau Yiruma yang kusuka. Kau bilang,
akan meminjam Murakami, Kafka, Sarte hingga Hemingway untuk menarik perhatianku
di ujung rak buku di perpus sore itu. Terakhir kau bilang, akan mencari Ulysses
dan membacanya hingga usai, agar terlihat keren di mataku dan mungkin kau kira,
bisa lebih keren dibanding Joyce. Lantas, aku tertawa. Pertemuan pertama kita
didesaki tawa-tawa jenakamu, raut konyolmu dan celetukkan-celetukkan lucumu.
Kamu pernah menyahut padaku suatu hari; hidup ini tentang bagaimana kamu
menjalaninya dalam tawa.
tapi,
berpetak-petak rindu merintih, lelah mengetahui sukma menjerit untuk cinta yang
tertatih
Untuk pertama kalinya pada
penghujung malam itu, aku melihat telaga di matamu. Tatapmu menjelma sungai
yang mengalir, membasuh hati yang basah oleh rasa yang menggenang. Tapi, kamu
tak pernah mengamit tanganku, menawarkan seikat janji bersama untuk mengarungi
perjalanan itu. Ketika malam berakhir dan menyerah pada matahari pagi, aku mati
tenggelam dalam manik matamu yang berubah jadi laut. Esoknya, kamu menjadi
jangkar usang yang dibuang dari kapal tua yang sudah tersengal oleh zaman. Tak
pernah kembali.
Tak
tahukah kau, jika aku ucapkan kata rumah, itu berarti dua hal; pulang dan kamu
Dan, untuk seluruh kenangan yang
seperti belantara tak terbaca; kutabur kelopak-kelopak bunga di atas nisan
kisah kita yang berakhir duka. Subuh itu ketika lantunan doa bersenandung, ada
yang mengetuk pintu. Aku tahu itu kamu yang pulang. Walau saat kubuka pintu
kayu yang sudah reyot itu, tak kutemukan siapapun. Aku masih mendekap hadirmu yang serupa udara.
0 Comments:
Post a Comment