ada
dekap cinta tak terkata dalam kasihnya yang samudra
sayang
miliknya memangkas batas-batas dunia
aku
melihat rumah di kedua matanya
Suatu hari, setelah ia menghabiskan sebagian besar waktunya di
dapur dan mengurusi pekerjaan rumah – sedangkan aku tidur sampai jam sebelas
siang sebelum akhirnya terbangun dengan malas, ia membongkar gudang. Melawan
debu-debu yang menebal dan tikus yang bersarang di dalamnya. Ia kembali dengan
sebuah album foto yang sudah menguning. Ia meninggalkanku untuk istirahat
sejenak, baginya, duduk di depan rumah memandangi lalu lalang orang-orang di
kala senja atau pertengahan siang adalah rehat terbaiknya. Aku singgah di ruang
tengah, membolak-balik album foto yang menjadi rumah bagi laba-laba dan kutu.
peluknya
mencipta perapian di hari yang bersalju
karena
cium mengiringi tiap air mata terjatuh
membasuh
dengan rasa tak terhitung
aku
merasakan tangan Tuhan di tiap sentuhnya
Itu fotoku ketika pertama kalinya merangkak. Belajar berjalan di
lorong rumah di kampung halaman. Bermain ayunan dengan dress batik yang
dikenakannya. Memaksanya menjadi kuda. Lelap dalam gendongannya. Menjambak dan
memilin-milin rambutnya yang tergerai panjang. Dan, membelai kepalaku yang botak
ketika tertidur. Aku menyentuh satu persatu lembar foto yang sudah berbau apak
itu, debu kenangan begitu tebal tertinggal di sana.
padanya,
aku berusaha berterima kasih
untuk
segalanya yang ia taruhkan
sebab
mencipta surga di hari-hari yang menguntai keluh
menawarkan
harap ketika menuai letih
menderai
tawa tuk mengurai hujan jadi pelangi
Aku tak tahu bagaimana harus menggambarkannya, aku mengalami semua
yang pertama bersamanya. Aku belajar tentang dunia, tentang apa yang ada,
tentang siapa aku dengannya. Aku menyapa cinta dan mengenalinya; darinya. Ia
bahkan telah mencintaiku sebelum aku benar-benar menangis untuk kali pertama di
dunia. Ia menyayangiku bahkan sebelum melihat fisikku baik atau buruk. Ia
mengasihiku sebelum orang lain sempat memikirkanku. Ia mempertaruhkan nyawanya
untuk aku yang utuh dan hidup. Ia memberiku segalanya untuk aku yang tidak ada
apa-apanya.
Lalu, ia memutuskan untuk tinggal di rumah di sepanjang hidupnya –
menjadi koki di rumah untuk aku yang selalu memilih-milih makanan, menjadi
badut di rumah untuk aku yang terus menangis hanya karena hal-hal tak berguna,
menjadi pengingat waktu untuk aku yang tak hentinya bermalas-malasan, menjadi
dokter yang merawatku di saat sakit di pertengahan malam, dini hari atau waktu
kapanpun, menjadi guru untuk aku yang tak tahu apa-apa. Ia menjadi apapun untuk
tiap keluhanku yang tak pernah berakhir.
Aku tumbuh bersama air
matanya. Dengan cintanya yang sedekat alir darahku.
di hari
ini, sekarang jua
saat ia
masih di sini mengenakan senyum itu
aku
jatuh pada pangkuannya
kupanggil
ia,
“ibu.”
ibu itu istimewa...
ReplyDeletekarena yang ada itu ibu jari bukan bapak jari
karena yang ada ibu kota gak ada bapak kota
karena yang ada ibu peri bukan bapak peri