Monday, 22 December 2014

Kepada Ibu

ada dekap cinta tak terkata dalam kasihnya yang samudra
sayang miliknya memangkas batas-batas dunia
aku melihat rumah di kedua matanya
Suatu hari, setelah ia menghabiskan sebagian besar waktunya di dapur dan mengurusi pekerjaan rumah – sedangkan aku tidur sampai jam sebelas siang sebelum akhirnya terbangun dengan malas, ia membongkar gudang. Melawan debu-debu yang menebal dan tikus yang bersarang di dalamnya. Ia kembali dengan sebuah album foto yang sudah menguning. Ia meninggalkanku untuk istirahat sejenak, baginya, duduk di depan rumah memandangi lalu lalang orang-orang di kala senja atau pertengahan siang adalah rehat terbaiknya. Aku singgah di ruang tengah, membolak-balik album foto yang menjadi rumah bagi laba-laba dan kutu.
peluknya mencipta perapian di hari yang bersalju
karena cium mengiringi tiap air mata terjatuh
membasuh dengan rasa tak terhitung
aku merasakan tangan Tuhan di tiap sentuhnya
Itu fotoku ketika pertama kalinya merangkak. Belajar berjalan di lorong rumah di kampung halaman. Bermain ayunan dengan dress batik yang dikenakannya. Memaksanya menjadi kuda. Lelap dalam gendongannya. Menjambak dan memilin-milin rambutnya yang tergerai panjang. Dan, membelai kepalaku yang botak ketika tertidur. Aku menyentuh satu persatu lembar foto yang sudah berbau apak itu, debu kenangan begitu tebal tertinggal di sana.
padanya, aku berusaha berterima kasih
untuk segalanya yang ia taruhkan       
sebab mencipta surga di hari-hari yang menguntai keluh
menawarkan harap ketika menuai letih
menderai tawa tuk mengurai hujan jadi pelangi
Aku tak tahu bagaimana harus menggambarkannya, aku mengalami semua yang pertama bersamanya. Aku belajar tentang dunia, tentang apa yang ada, tentang siapa aku dengannya. Aku menyapa cinta dan mengenalinya; darinya. Ia bahkan telah mencintaiku sebelum aku benar-benar menangis untuk kali pertama di dunia. Ia menyayangiku bahkan sebelum melihat fisikku baik atau buruk. Ia mengasihiku sebelum orang lain sempat memikirkanku. Ia mempertaruhkan nyawanya untuk aku yang utuh dan hidup. Ia memberiku segalanya untuk aku yang tidak ada apa-apanya.
Lalu, ia memutuskan untuk tinggal di rumah di sepanjang hidupnya – menjadi koki di rumah untuk aku yang selalu memilih-milih makanan, menjadi badut di rumah untuk aku yang terus menangis hanya karena hal-hal tak berguna, menjadi pengingat waktu untuk aku yang tak hentinya bermalas-malasan, menjadi dokter yang merawatku di saat sakit di pertengahan malam, dini hari atau waktu kapanpun, menjadi guru untuk aku yang tak tahu apa-apa. Ia menjadi apapun untuk tiap keluhanku yang tak pernah berakhir.
Aku tumbuh bersama air matanya. Dengan cintanya yang sedekat alir darahku.
di hari ini, sekarang jua
saat ia masih di sini mengenakan senyum itu
aku jatuh pada pangkuannya
kupanggil ia,
“ibu.”
This entry was posted in

1 comment:

  1. ibu itu istimewa...
    karena yang ada itu ibu jari bukan bapak jari
    karena yang ada ibu kota gak ada bapak kota
    karena yang ada ibu peri bukan bapak peri

    ReplyDelete