Sudah
kubilang padanya, jika ingin bertemu denganku; tak mungkin selepas subuh, bukan
pula menjelang siang, tidak ketika senja merapat, juga tidak saat purnama
bertengger. Kukira itu sudah membuatnya mengerti jika aku tak ingin menemuinya.
Tapi, saat itu jam dinding menunjukkan pukul nol-nol lewat satu menit. Ia
katakan, ini sebelum fajar menyapa, purnama juga sudah diselimuti awan malam,
senja sudah mati dan siang tak akan berani mengetuk waktu. Itu pertengahan
malam, dan tak ada bintang yang menemani, pun purnama yang terpatri. Yang ada
hanyalah ia yang berdiri di ambang pintu rumahku dengan pucat wajahnya.
“...aku ingin kita membaca kenangan. Temani aku menyusuri
ruang-ruang perpisahan. Aku tak mungkin datang sendiri. Aku sudah mencari toko
yang menjual organ tubuh, tapi mereka selalu menggeleng ketika kutanyakan
adakah yang baru untuk hati yang terluka oleh masa lalu.”
Ia konyol, dan sampai di sini, aku yakin kau tahu apa maksudku.
“...tolong aku. Berhari-hari aku berbincang dengan bulan, berusaha
menjadi anak kecil kembali, yang selalu tertawa dan tidak dicekik oleh
masalah-masalah rasa. Aku ingin memutar waktu, tepat untuk menghentikan hati
yang kala itu ingin menjelajah.”
Ia sinting, dan sampai di sini, aku yakin kau tahu apa maksudku.
“...dan, satu lagi, aku menemukan namamu di antara daftar nama yang
disesaki rindu, terperangkap masa lampau dan tidak benar-benar hidup di masa
sekarang. Kamu ditampar waktu silam dan dibayangi kabut hari esok. Kamu orang
yang gaduh oleh sunyi dan ramai oleh sendiri. Kamu dikoyak kenangan
berkali-kali, luka dan berusaha bangkit, namun tak ada yang peduli pada
seseorang yang sudah mati dan lebam oleh sunyi.”
Sahutnya dengan seringainya yang menunjukkan mulutnya yang
berdarah. Ia baru saja memakan hati seseorang.
“...tapi setidaknya aku masih punya sepotong hati, walau kecil, ia
masih menunggu. Itu sudah cukup, biar aku hidup membiru,” bisikku, membuatnya terperanjat.
Tak percaya aku masih menyimpan ranting angan yang utuh.
Ia gila, dan sampai di sini, aku yakin kau tahu apa maksudku.
0 Comments:
Post a Comment