Biar kuceritakan sepenggal kisah
kecil padamu pada sore itu. Sore itu berbeda; karena mendung menukik langit
yang seharusnya memerah jingga. Aku duduk di balik jendela tanpa kaca, bersama
seseorang yang mengisap tembakau tanpa jeda. Berkali-kali kuuraikan kepul asap
yang beradu dengan udara di depanku, ia tertawa kecil, melempar puntung tembakaunya
menjauhiku. Sepasang mata hitamnya menatapku, menunggu cerita yang kujanjikan,
kisah yang membuatnya duduk bersamaku di sini; di sebuah rumah tua yang hampir
roboh, katanya aku pasti akan mengisahkan hal-hal lampau dan ia butuh ruang
yang dirayapi masa lalu. Di sini. Aku melempar pandang ke jalan yang sepi.
“…dan, pagi ini aku menapaki gedung
yang perlahan berganti pasar. Manik mataku memaku dari satu bangunan ke
bangunan lain; dari ia menjulang hingga runtuh dan lenyap di antara debu
jalanan. Dan, kau pun tahu; bahkan tidak kutemukan titik-titik kebahagiaan
diselip raut dan kerut wajah mereka, baik dibalik gedung berdindingkan kaca,
maupun kerangka bangunan yang bertulangkan plastik-plastik sampah.”
Selalu
seperti itu, kataku.
Ada gelisah yang bergelayut di benakku. Waktu menggerogoti onggok-onggok daging
yang bergerak cepat di sepanjang jalan di tiap paginya. Ia masih diam. Aku pun
mengambil struk pembayaran tembakau yang dibelinya di mini market tadi,
menulisinya dengan bait-bait puisi. Menunggui diamnya yang mulai terasa gaduh
bagiku. Aku tahu, ia pun melihat hal yang sama denganku, di pinggir jalan itu.
Pada belokkan itu. Di antara pemberhentian bus-bus kota.
Dua pasang mata milik dua tubuh
ringkih yang berdiri di tepi jalan. Nenek tua berkerudung batik, tubuhnya
membungkuk sembari menegadahkan tangan yang mengamit mangkuk plastik. Kakek tua
bertopi lidah cokelat kelabu, tubuhnya ditopang tongkat kayu yang mungkin
didapat dari rumah tua yang mati oleh waktu, sembari menegadahkan tangannya
yang keriput. Setiap pagi; aku bagai melihat matahari diselimuti debu. Potret
subuh bagai samar-samar. Lanskap pagi seperti kabut yang tidak jelas. Potret
hari yang dirundung abu. Sementara onggok-onggok daging terus menundukkan
kepalanya; hingga mata mereka terlempar keluar dan masuk ke dalam layar ponsel
dan tablet mereka. Sampai kepala mereka terkurung jam tangan yang melingkar di
pergelangan tangan mereka.
Aku terisak.
“Mungkin tidak setiap hari adalah
hari yang baik, tapi selalu ada hal yang baik di tiap harinya,” sahutnya
mengejutkan aku yang sebentar lagi dilumat sepi. Sekali lagi, ia meraih batang
tembakaunya. Kali ini kulihat ia memejamkan mata tiap kali kepul asap tembakau
itu mengepul di atasnya. Aku melihat rekaman yang diambil sepasang matanya;
seorang bapak tua dengan vespa kunonya mengantar anaknya yang masih SD ke
sekolah di pagi buta, seorang tukang ojek yang merangkap juru parkir dan
mendapat selembar uang ribu pagi itu; tersenyum sumringah, dua pelajar SMA
berjalan kaki sembari menukar canda dan lanskap-lanskap lainnya.
“Percayalah, matahari ada di tiap
pasang mata mereka,” tutupnya seakan tahu jika aku tengah membuka kisah yang
tersimpan di balik bola matanya.
Isak itu tak pernah berhenti. Di
tiap pagi, di sudut hati yang takut untuk bangun. Tapi setidaknya aku tahu, tak akan
ada matahari yang mati untuk pasang mata yang terus berusaha meniti harap pada hari-hari.
0 Comments:
Post a Comment