Thursday, 25 December 2014

It’s Raining


"Di luar hujan,” sahutku hampir berbisik. Perlahan, suaraku tenggelam ditelan hujan yang menderas. Kamu berpaling dari layar yang menampilkan berlembar-lembar kerjamu. Bingungmu menggantung di udara. Aku jadi teringat suatu waktu, kamu pernah bertanya padaku, mengapa hujan. Ketika itu, ingin kukatakan padamu, sudah lama silam aku menutup kisah hujan, tapi namamu membawaku sekali lagi – dan berkali-kali, tentang hujan dan payung-payung rencananya yang menyentuh kalbu. Biar kubisikkan padamu, hujan apa yang kulihat tiap namamu terselip di bilik suara.
Rein, barisan kelabu gumpal awan seakan menertawaiku karena ia menyimpan banyak tebak, sedangkan aku selalu gagal menemukan jawabannya; antara ia membawa duka langit sebab malaikat tengah menangis ataukah itu cara langit menyampaikan cintanya pada Bumi, kekasihnya. Dan, ada hujan dalam kamu; aku melihat rintik-rintik gerimis yang turun malu-malu dan hujan yang menderas di kedalaman dua matamu. Tapi, itulah yang membuatku duduk di ruang kelas, belajar tentang bagaimana hujan menjadi dirinya sendiri dan mencintai apa yang dilakukan dan dikerjakannya pada Bumi.
Rein, aku selalu suka hujan di pertengahan malam, itu seperti setubuh sunyi dengan malam yang berakhir jadi kenangan yang ranum. Menikmati bagaimana sisa rintik hujan menempel pada dinding kaca jendela yang diselimuti kabut dingin. Namun, hujan di pukul nol-nol tidak selamanya sempurna, ia mampu melumatmu perlahan, meremukan tulangmu hingga terkapar di ruang rawat dengan orang-orang berjas putih berlalu-lalang di depanmu. Ini caraku untuk mengatakan padamu, jaga kesehatanmu, karena aku tak ingin menemukan kelas Selasa yang kosong dan libur karena kamu terbaring di ruangan yang dipenuhi obat. Dan, hujan masih turun di luar sana, itu rerintik yang muram.
Rein, kamu mengingatkanku pada aku yang berusaha memeluk mimpi-mimpiku – dengan cara yang berbeda. Untuk tidak menyerah, menyentak kemalasan dan terus terjaga mengejar apa yang kita percaya. Maka itu, aku terus menulis, mengarungi malam dan melewati senja, meniti berpuluh-puluh buku, seperti kamu. Kita punya cara yang berbeda dalam banyak hal, tapi, selalu ada teduh yang sama di bawah hujan.
Rein, kita tahu, aku bukan muridmu yang terbaik, terlebih lagi cerdas. Tapi, lewat tulisan ini, yang kuketik pada pukul satu pagi – karena aku menyukai dini hari ketika aku terjaga oleh bergelas-gelas kafein, kuselipkan cinta di tiap kelas pertemuan yang ada. Sebab, kamu berhasil membuatku menghadiri kelas yang sebelumnya tidak membuatku jatuh cinta – sedangkan kelas-kelas sastra lainnya sukses mencengkeramku pada hari pertama, tapi justru karenamu, aku belajar untuk meniti apa yang baru, itu kelas yang istimewa.
“Ini akan jadi hujan yang panjang, menjelma tirai air di sekeliling kita. Biasanya akan kukatakan pada orang, ini hujan yang tiap bulirnya merintikkan kenangan, ini hujan yang membuat Desember basah, dan ini hujan yang mengetuk pintu hati lalu membuatnya riuh. Tapi, jadi berbeda saat harus kujelaskan padamu.”
Kamu masih berkutat dengan pekerjaanmu, tanpa kamu tahu, hujan di luar sana menyimpan jawabanku yang lain untukmu.
“Rein, ini hujan yang mengingatkanku padamu.”
Untuk seseorang, yang meminang hujan dalam namanya, Rhein Mahatma.
Selamat hari Natal dan tahun baru. Semoga kamu menemukan cinta pada hari-hari yang dipintal bersama kasih Tuhan Yesus di dalamnya. Amen.

1 comment: