"Di
luar hujan,” sahutku hampir berbisik. Perlahan, suaraku tenggelam ditelan hujan
yang menderas. Kamu berpaling dari layar yang menampilkan berlembar-lembar
kerjamu. Bingungmu menggantung di udara. Aku jadi teringat suatu waktu, kamu
pernah bertanya padaku, mengapa hujan. Ketika itu, ingin kukatakan padamu,
sudah lama silam aku menutup kisah hujan, tapi namamu membawaku sekali lagi –
dan berkali-kali, tentang hujan dan payung-payung rencananya yang menyentuh
kalbu. Biar kubisikkan padamu, hujan apa yang kulihat tiap namamu terselip di
bilik suara.
Rein, barisan kelabu gumpal awan
seakan menertawaiku karena ia menyimpan banyak tebak, sedangkan aku selalu
gagal menemukan jawabannya; antara ia membawa duka langit sebab malaikat tengah
menangis ataukah itu cara langit menyampaikan cintanya pada Bumi, kekasihnya.
Dan, ada hujan dalam kamu; aku melihat rintik-rintik gerimis yang turun
malu-malu dan hujan yang menderas di kedalaman dua matamu. Tapi, itulah yang
membuatku duduk di ruang kelas, belajar tentang bagaimana hujan menjadi dirinya
sendiri dan mencintai apa yang dilakukan dan dikerjakannya pada Bumi.
Rein, aku selalu suka hujan di
pertengahan malam, itu seperti setubuh sunyi dengan malam yang berakhir jadi kenangan
yang ranum. Menikmati bagaimana sisa rintik hujan menempel pada dinding kaca jendela
yang diselimuti kabut dingin. Namun, hujan di pukul nol-nol tidak selamanya
sempurna, ia mampu melumatmu perlahan, meremukan tulangmu hingga terkapar di
ruang rawat dengan orang-orang berjas putih berlalu-lalang di depanmu. Ini
caraku untuk mengatakan padamu, jaga kesehatanmu, karena aku tak ingin
menemukan kelas Selasa yang kosong dan libur karena kamu terbaring di ruangan yang
dipenuhi obat. Dan, hujan masih turun di luar sana, itu rerintik yang muram.
Rein, kamu mengingatkanku pada aku
yang berusaha memeluk mimpi-mimpiku – dengan cara yang berbeda. Untuk tidak
menyerah, menyentak kemalasan dan terus terjaga mengejar apa yang kita percaya.
Maka itu, aku terus menulis, mengarungi malam dan melewati senja, meniti
berpuluh-puluh buku, seperti kamu. Kita punya cara yang berbeda dalam banyak
hal, tapi, selalu ada teduh yang sama di bawah hujan.
Rein, kita tahu, aku bukan muridmu
yang terbaik, terlebih lagi cerdas. Tapi, lewat tulisan ini, yang kuketik pada
pukul satu pagi – karena aku menyukai dini hari ketika aku terjaga oleh
bergelas-gelas kafein, kuselipkan cinta di tiap kelas pertemuan yang ada.
Sebab, kamu berhasil membuatku menghadiri kelas yang sebelumnya tidak membuatku
jatuh cinta – sedangkan kelas-kelas sastra lainnya sukses mencengkeramku pada
hari pertama, tapi justru karenamu, aku belajar untuk meniti apa yang baru, itu
kelas yang istimewa.
“Ini
akan jadi hujan yang panjang, menjelma tirai air di sekeliling kita. Biasanya
akan kukatakan pada orang, ini hujan yang tiap bulirnya merintikkan kenangan,
ini hujan yang membuat Desember basah, dan ini hujan yang mengetuk pintu hati
lalu membuatnya riuh. Tapi, jadi berbeda saat harus kujelaskan padamu.”
Kamu
masih berkutat dengan pekerjaanmu, tanpa kamu tahu, hujan di luar sana
menyimpan jawabanku yang lain untukmu.
“Rein,
ini hujan yang mengingatkanku padamu.”
Untuk
seseorang, yang meminang hujan dalam namanya, Rhein Mahatma.
Selamat hari Natal dan tahun baru.
Semoga kamu menemukan cinta pada hari-hari yang dipintal bersama kasih Tuhan
Yesus di dalamnya. Amen.
Selamat Natal
ReplyDelete