satu hal mewah yang pernah kumiliki adalah segenggam persahabatan sederhana
Aku baru ingat jika aku pernah
membuat sebuah video album singkat mengenai suatu perjalanan; yang tak pernah kutahu
akan berakhir. 2013. Kumpulan potret dan lanskap perjalanan yang diabadikan dan
direkam itu menampilkan potongan-potongan cerita yang pernah singgah; dan
sempat terlupa. Mungkin, jika ia bukan dalam bentuk virtual, album itu sudah
teronggok diam dan tebal oleh debu kenang yang tak tersentuh. Album pertama
menarik perhatianku, aku menamainya Forever
Friend. Aku membuka file itu, dan aku seperti diajak mengembara pada
Agustus tahun lalu, ketika aku menguntai itu semua.
Aku melihat tanganku mengamit padanya.
Kita saling menunjuk cakrawala yang sama; tiga sekawan yang saling memangku
mimpi berbeda tapi tetap berjanji dalam ikatan bersama selamanya. Aku hampir
hanyut dalam isak dan menyatu dengan air mata, tepat ketika aku memalingkan
muka.
Aku sempat tersenyum di depan lensa
kamera, dan kamera melukisku tengah membentuk simbol daun hati dengannya. Daun
hati itu menyimpan banyak, lebih dari sekadar pertemanan di kelas atau kumpul-kumpul
di kafe. Kita menukar curahan hati, berbagi rahasia dan tangis-canda.
Aku tersenyum – itu senyum yang
sulit, karena rasanya kecut. Kita tampil menjadi siapa diri kita, tak ada yang
saling menyembunyikan diri dalam topeng. Menjadi diri sendiri dan nyaman satu
sama lain. Tak ada agenda yang harus dikerjakan hari itu, kita hanya memutuskan
untuk bertemu dan melakukan apa saja yang bisa dilakukan bersama; bahkan hanya
duduk di ruang tamu – menyelotehkan mengenai isu-isu terbaru, berjalan-jalan di
sepanjang kompleks perumahan yang sepi, berfoto-foto ria di jembatan tua yang
reyot, semak-semak hingga pagar rumah-rumah. Hanya dari hal-hal kecil itu saja,
kita tertawa seakan dunia milik tawa kita. Kita menggila. Dan, kita tahu itulah
arti persahabatan kita. Orang-orang mengenalmu sebagai kawan yang baik. Tapi
seorang sahabat akan melihatmu sebagai orang yang gila. Mereka menemukan apa
yang tidak ditangkap orang-orang.
Aku ingat – pada akhirnya. Itulah
mengapa foto-foto yang banyak itu tersimpan dan tercipta. Karena kita sepakat
memekukan kenangan. Aku pun menyusunnya dalam rangkaian foto di aplikasi video.
Membuat album virtual dengan lagu yang menggambarkan kita bertiga; forever
friend. Karena kita saling menawarkan arti ‘selamanya’ dan ‘selalu’.
Aku selalu takut membuka halaman
terakhir dari sebuah kisah. Karena pilihannya hanya dua; menjadi sebuah hal
yang happily ever after ataukah tragedi.
Atau mungkin menjadi kisah yang menggantung, tanpa akhir dan menjadi misteri
yang menyiksa kalbu?
Kau tahu, ini begitu menyakitkan,
karena ini bukan cerita peri. Bukan pula kisah dongeng. Bukan sejenis kisah
yang bermula pada gubuk kecil kumuh dan berakhir dengan istana dan pesta dansa
di aula utama yang mewah. Ini seperti Tinkerbell tanpa Peterpan. Cinderella
tanpa sepatu kacanya. Putri salju tanpa apel beracunnya. Atau, putri tanpa
pangerannya. Ada yang salah, ada yang cacat dan pincang. Sebuah kisah yang
meretak, karena peri penolong tak pernah datang.
"Kita bakal jadi sahabat selamanya, iya atau enggak?"
"Iya."
Waktu mengintip dari sudut sunyi, membaca skenario yang sudah ada, lalu tersenyum muram.
0 Comments:
Post a Comment