Hampir setiap sore aku menemukannya
duduk di bangku taman bermain yang sudah berkarat itu. Cat vanilla yang
melapisi besi usang bangku itu sudah mengelupas, menyisakan debu-debu hitam
yang singgah di sisi-sisinya. Taman bermain itu juga tak kalah tua; dulu
sekali, aku pernah ke mari, bermain jungkat-jungkit beralaskan ban bekas.
Menderai tawa seakan aku menjadi anak kecil selamanya. Lalu, ketika pedagang
gulali memarkirkan gerobaknya di tepi taman, aku akan berlari padanya, memesan
sebatang kembang gula yang ukurannya lebih besar dari kepalaku. Duduk di atas
rerumputan yang kala itu menghijau, dipotong rapi pendek-pendek di antara
dandelion-dandelion muda yang tumbuh di sana.
“…lalu,
kamu dan kawan-kawanmu, memetik salah satu dandelion, serat-sertanya pun
berterbangan dimainkan udara sore. Kamu pun memejamkan mata, membisikkan
harapan-harapan sederhanamu.”
Lamunanku yang tengah mengembara
pada kenang masa kanak, perlahan buyar, memudar menjadi bayang ia yang
tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Tentangnya; seperti rekaman yang diputar
ulang.
Aku pernah melihatnya berteriak
bersama anak-anak itu, ikut menunjuk kombinasi tiga warna yang menggurat di
langit sehabis hujan, dan ia loncat-loncat dipenuhi bahagia; untuk merayakan
pelangi yang melengkung seusai senandung hujan. Lain waktu, aku juga ingat ia
masih tetap tinggal ketika anak-anak itu sudah pulang ke rumah. Mencoba sendiri
ayunan yang masih dilekat oleh remah-remah tawa dan ceria. Menyentuh kapur yang
dipakai untuk menggores garis-garis tapak gunung. Melempar batu-batu kecil.
Dan, ketika senja berakhir dan malam siap melarut, ia baru beranjak. Berjalan
pulang sembari menundukkan kepalanya, menghitung langkahnya sendiri.
“…aku pernah terlibat obrolan dengan
kawanku yang dibudaki oleh waktu. Ia bilang, ia rindu kartun di Minggu pagi,
bersepeda di sore hari, berlarian sembari menerbangkan pesawat kertas di hari
yang berangin, juga melipat burung dan perahu kertas. Lalu, bermain air di
bawah rintik hujan.”
Aku melihat manisnya gulali bersarang
di matanya. Bagaimana harus kulukiskan tatap matanya padamu? Ia punya sepasang
mata yang kecil, tatapnya polos dan apa adanya. Seperti…anak kecil yang kulihat
di taman bermain tua sore ini.
“…ada satu ruang, di kedalaman
dirimu. Di hatimu, sukmamu ataupun keseharianmu, yang tidak pernah tumbuh, yang
selalu bersikeras menjadi anak kecil. Dan, itu bukan salahmu, karena
sekali-kali kita perlu bermain-main kembali. Seperti dulu, sebelum kita
mengenal jerat-jerat waktu dan lilit-lilit perkara.”
Dan, sejak sore itu. Kita terlahir
kembali; sebagai anak kecil, yang tertawa setelah membisikkan angan kecilnya
pada sebuah dandelion.
0 Comments:
Post a Comment