Jam tangan yang sewarna malam
mengingatkanku pada waktu yang tengah merangkak. kamu bisa melihat wajah malam yang bersembunyi ketika kamu terjaga dari
lelapmu. Bisik sayup suara kawanku yang perantau jauh itu mengusikku untuk
bangun saban malam dari mimpi-mimpi yang berusaha merebahkanku. Akhirnya
kuputuskan untuk mengeratkan mantel kelabuku yang biasa kupakai tidur hingga
lusuh, untuk melawan udara dingin yang membawa gigil pada tiap tubuh. Langkah
kecil-kecilku menapaki bahu jalan yang terasa lenggang – kelenggangan itu
melukis sisi lain dari malam yang purba; dimana remang lampu kota menjelma
menjadi penguasa terang malam, tentunya selain kunang-kunang yang berdiri di
bawahnya, tentunya pula selain sabit pucat yang menggantung jauh di atasnya.
Mataku mengerjap, tak selamanya sunyi dan sepi hadir menemani terjaganya malam;
setidaknya selalu ada suara-suara lain, tentunya bukan hanya derik serangga
malam, pedangang makanan goreng keliling atau klakson-klakson lemah yang jika
menari-nari bersamaan, bagai simfoni yang melantun dari pita suara malam. Tapi
juga ada sayup-sayup suara lain; berupa lengkingan perempuan minta tolong yang
mengiris dari salah satu gang sempit, tawaan sekelompok lelaki yang
masing-masing memegang botol miras oplosan, caci-maki kecil di meja bar, rayuan
dan desahan yang tenggelam di balik bilik-bilik kamar sendiri serta yang paling
menarik perhatianku; dengkuran tidur dari anak-anak busung lapar yang rebah di
atas bumi di bawah payung langit.
Aku mempercepat langkahku. Rasanya
malam menghadirkan gigil lain yang menyergapku bukan dari udara dingin
miliknya, melainkan potret-potret janggal akan wajahnya yang muram. Langkah
cepatku berubah menjadi pelarian, kunang-kunang yang berdiri di balik tembok
gedung menjulang, mengekori pandangnya ke arahku. Seorang perempuan paruh baya
bergincu merah menyala menghalangi derap kakiku di ujung jalan yang hitam.
Sebatang tembakau terapit di anatar atas-bawah bibirnya. Matanya yang menyalak
menelanjangi tubuhku, gigil yang tadi hinggap berubah menjadi getar yang
menyengat benakku untuk segera kabur. Sebelum perempuan itu menjadikanku salah
satu tangkapannya dan menyihirku jadi kunang-kunang, aku berteriak sekencang
yang kubisa. Aku ingat kawan perantauku itu pernah bilang; kelemahan malam ada
pada suara bising yang mengejutkan sunyi dan sepi yang diciptanya. Maka, aku
berteriak sekeras yang kubisa. Mengambil langkah seribu dengan menerjang si
perempuan paruh baya. Sebelum aku sempat melarikan diri dari sergapan malam, seberkas
halaman koran yang sudah tersobek di sisi-sisinya terbang dimainkan angin –
hingga menampar tepat di hadapan wajahku. Aku berhenti, koran itu menampakkan
wajah kawan perantauku, yang tewas di pertengahan malam kemarin lalu. Sebuah cerita yang belum usai di rel kereta. Bacokkan setelah perkosaan yang membabi-buta oleh
sekelompok lelaki. Cirinya-cirinya, mereka memegang masing-masing botol miras
oplosan berbagai warna. Dikiranya kawanku adalah salah satu kunang-kunang milik
perempuan bergincu tadi. Suara klakson dari truk yang melintas cepat di jalan
lenggang menutup perjalananku, lengkap dengan teriakkan terakhir yang bisa
kuberikan untuk mencakar-cakar kesepian malam; sebelum akhirnya aku ditelan
olehnya. Jika kamu lihat, ada salah satu wajahku di pigura malam. Lihatkah
kamu?
0 Comments:
Post a Comment