Saturday, 8 November 2014

Malam dalam Pigura


Jam tangan yang sewarna malam mengingatkanku pada waktu yang tengah merangkak. kamu bisa melihat wajah malam yang bersembunyi ketika kamu terjaga dari lelapmu. Bisik sayup suara kawanku yang perantau jauh itu mengusikku untuk bangun saban malam dari mimpi-mimpi yang berusaha merebahkanku. Akhirnya kuputuskan untuk mengeratkan mantel kelabuku yang biasa kupakai tidur hingga lusuh, untuk melawan udara dingin yang membawa gigil pada tiap tubuh. Langkah kecil-kecilku menapaki bahu jalan yang terasa lenggang – kelenggangan itu melukis sisi lain dari malam yang purba; dimana remang lampu kota menjelma menjadi penguasa terang malam, tentunya selain kunang-kunang yang berdiri di bawahnya, tentunya pula selain sabit pucat yang menggantung jauh di atasnya. Mataku mengerjap, tak selamanya sunyi dan sepi hadir menemani terjaganya malam; setidaknya selalu ada suara-suara lain, tentunya bukan hanya derik serangga malam, pedangang makanan goreng keliling atau klakson-klakson lemah yang jika menari-nari bersamaan, bagai simfoni yang melantun dari pita suara malam. Tapi juga ada sayup-sayup suara lain; berupa lengkingan perempuan minta tolong yang mengiris dari salah satu gang sempit, tawaan sekelompok lelaki yang masing-masing memegang botol miras oplosan, caci-maki kecil di meja bar, rayuan dan desahan yang tenggelam di balik bilik-bilik kamar sendiri serta yang paling menarik perhatianku; dengkuran tidur dari anak-anak busung lapar yang rebah di atas bumi di bawah payung langit.
Aku mempercepat langkahku. Rasanya malam menghadirkan gigil lain yang menyergapku bukan dari udara dingin miliknya, melainkan potret-potret janggal akan wajahnya yang muram. Langkah cepatku berubah menjadi pelarian, kunang-kunang yang berdiri di balik tembok gedung menjulang, mengekori pandangnya ke arahku. Seorang perempuan paruh baya bergincu merah menyala menghalangi derap kakiku di ujung jalan yang hitam. Sebatang tembakau terapit di anatar atas-bawah bibirnya. Matanya yang menyalak menelanjangi tubuhku, gigil yang tadi hinggap berubah menjadi getar yang menyengat benakku untuk segera kabur. Sebelum perempuan itu menjadikanku salah satu tangkapannya dan menyihirku jadi kunang-kunang, aku berteriak sekencang yang kubisa. Aku ingat kawan perantauku itu pernah bilang; kelemahan malam ada pada suara bising yang mengejutkan sunyi dan sepi yang diciptanya. Maka, aku berteriak sekeras yang kubisa. Mengambil langkah seribu dengan menerjang si perempuan paruh baya. Sebelum aku sempat melarikan diri dari sergapan malam, seberkas halaman koran yang sudah tersobek di sisi-sisinya terbang dimainkan angin – hingga menampar tepat di hadapan wajahku. Aku berhenti, koran itu menampakkan wajah kawan perantauku, yang tewas di pertengahan malam kemarin lalu. Sebuah cerita yang belum usai di rel kereta. Bacokkan setelah perkosaan yang membabi-buta oleh sekelompok lelaki. Cirinya-cirinya, mereka memegang masing-masing botol miras oplosan berbagai warna. Dikiranya kawanku adalah salah satu kunang-kunang milik perempuan bergincu tadi. Suara klakson dari truk yang melintas cepat di jalan lenggang menutup perjalananku, lengkap dengan teriakkan terakhir yang bisa kuberikan untuk mencakar-cakar kesepian malam; sebelum akhirnya aku ditelan olehnya. Jika kamu lihat, ada salah satu wajahku di pigura malam. Lihatkah kamu?
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment