Aku bergeliat di atas tempat tidur.
Malam sudah buta. Waktu merangkak lambat setelah melewati angka nol-nol. Sonata
Bethoveen sudah berkali-kali mengusir sunyi, tapi sepi tetap tak benar-benar
pergi. Aku masih teringat bisikNya malam perawan tadi; tak peduli masa lalu
sehitam apapun, kamu selalu bisa memulainya lagi saat ini.
Gorden jendela cokelat bermotifkan
burung camar yang berterbangan itu kusibakkan. Kaca jendela kugeser perlahan,
membiarkan bagaimana udara malam buta bergumul dengan kesenyapan. Pikiranku
mengembara jauh ke bertahun-tahun silam lalu, malam seminggu lalu, dan
lusa-lusa lalu. Aku percaya, ruang pikir kita mampu menciptakan mesin waktu
bagi diri kita sendiri.
Aku bertemu anak kecil berkuncir
kuda dan berambut keriting itu lebih dari lima tahun lalu. Aku menemukannya di
gedung pertunjukkan teater dan orkestra musik. Mata anak perempuan itu tak
lepas dari si pemain biola; perempuan dewasa yang cantik dan kharismatik, itu
kesan pertama yang kudapati darinya. Dress hitam panjang yang dikenakannya,
seakan mengiringi dan melengkapi biola yang terjepit di antara pundak dan
kepalanya, ia menggesekkan nada-nada merdu yang menyihir tiap manik mata di
gedung itu. Sekali kamu melirik ke arahnya, siapapun mampu memastikan, tak akan
ada yang bisa lepas darinya. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, tersadar kembali
dengan si anak kecil. Kukira musik yang dimainkan si pemain biola yang
membuatnya menitikkan air mata, tapi tidak. Aku melihat kisah lain dari bulir-bulir
air matanya.
Pertunjukkan drama berlatar belakang
sejarah tidak terlalu kuperhatikan. Anak kecil perempuan itu yang justru
mengalihkan pakuan mataku. Tiap pemain teater yang menari lincah dan melafalkan
dialog dengan sempurna, si anak kecil itu menjatuhkan air matanya. Sesering itu
juga, aku melirik ke arahnya. Rambut keriting anak itu terlihat berantakan –
seolah tidak disisir berminggu-minggu. Tubuhnya kurus dengan wajah hampir tirus
– bisa kutebak, ia tak mengenali alat mematut diri dan ia tak peduli dengan
itu. Kepalanya sering kali tertunduk – seakan berkata pada dunia; jikalau aku
tak pantas untuk ini semua. Terakhir, sepasang matanya yang bengkak – mata itu
terbingkai oleh kaca mata berlensa tebal, sekali dilepaskan, matanya menyipit
dan melihat lalu-lalang orang-orang bagai siluet bayang yang kabur. Lalu, ia
kembali menangis.
Aku
tertegun. Aku seakan melihat bayangku sendiri di antara tetes air matanya.
Tak lama sebelum pertunjukkan
berakhir, anak kecil itu keluar gedung. Aku mengikutinya. Baru kusadari, ia
mengalungkan note kecil dan sebatang pulpen di lehernya. Lalu ia mengambil
duduk di balik tembok tinggi yang menjulang dan duduk di atas lantai yang
dingin malam itu. Aku mengamatinya – ia menulis sesuatu. Dan beberapa menit
setelahnya, kutemukan hal yang paling melegakanku malam itu dan aku tak tahu
mengapa; ia tersenyum lepas. Hanya lima detik sebelum akhirnya aku menangkap
air mata itu lagi.
Aku hampir gila memerhatikannya.
Kuhampiri ia dengan langkah hampir tergesa. Dan saat itu, aku memucat. Tubuhku
mematung seperti manekin-manekin yang memajang kostum-kostum di sepanjang
lorong gedung.
Itu
mata yang sama ketika aku menangis pertama kalinya di antara tawa orang-orang,
melihat tas punggungku dipenuh sampah yang dibuang sengaja oleh sekelompok
perempuan. Itu tubuh yang sama ketika aku diolok pertama kalinya karena tak
bebentuk biola. Itu rambut yang sama ketika aku memusuhinya pertama kalinya
karena berbeda dan tak semenawan orang-orang. Itu baju lusuh yang sama ketika
aku merendahkan diriku sendiri di antara poster-poster perempuan bergaun malam.
Itu note dan pulpen yang sama ketika aku menulis pertama kalinya dan menemukan
bayangku di antara selipan kata-kata. Itu aku yang sama ketika bertahun-tahun
lalu saat pertama kalinya mengenal dunia.
Anak kecil perempuan itu lenyap.
Tinggal aku sendiri, teronggok di tempat yang tadi didudukinya. Rasanya sudah
bertahun-tahun lamanya sejak aku tak hentinya mencaci-maki diriku sendiri, dan
tanpa ada yang tahu, pelan-pelan aku mati.
teruntuk
korban-korban bullying, kamu sempurna ketika menjadi dirimu sendiri. Kamu cantik
ketika melakukan apa yang kamu cintai. Dan, aku menyayangimu. Tersenyumlah - menangislah. Kita akan segera melihat pelangi di balik hujan.
0 Comments:
Post a Comment