Saturday, 15 November 2014

Fell and Drown

Aku bergeliat di atas tempat tidur. Malam sudah buta. Waktu merangkak lambat setelah melewati angka nol-nol. Sonata Bethoveen sudah berkali-kali mengusir sunyi, tapi sepi tetap tak benar-benar pergi. Aku masih teringat bisikNya malam perawan tadi; tak peduli masa lalu sehitam apapun, kamu selalu bisa memulainya lagi saat ini.
Gorden jendela cokelat bermotifkan burung camar yang berterbangan itu kusibakkan. Kaca jendela kugeser perlahan, membiarkan bagaimana udara malam buta bergumul dengan kesenyapan. Pikiranku mengembara jauh ke bertahun-tahun silam lalu, malam seminggu lalu, dan lusa-lusa lalu. Aku percaya, ruang pikir kita mampu menciptakan mesin waktu bagi diri kita sendiri.
Aku bertemu anak kecil berkuncir kuda dan berambut keriting itu lebih dari lima tahun lalu. Aku menemukannya di gedung pertunjukkan teater dan orkestra musik. Mata anak perempuan itu tak lepas dari si pemain biola; perempuan dewasa yang cantik dan kharismatik, itu kesan pertama yang kudapati darinya. Dress hitam panjang yang dikenakannya, seakan mengiringi dan melengkapi biola yang terjepit di antara pundak dan kepalanya, ia menggesekkan nada-nada merdu yang menyihir tiap manik mata di gedung itu. Sekali kamu melirik ke arahnya, siapapun mampu memastikan, tak akan ada yang bisa lepas darinya. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, tersadar kembali dengan si anak kecil. Kukira musik yang dimainkan si pemain biola yang membuatnya menitikkan air mata, tapi tidak. Aku melihat kisah lain dari bulir-bulir air matanya.
Pertunjukkan drama berlatar belakang sejarah tidak terlalu kuperhatikan. Anak kecil perempuan itu yang justru mengalihkan pakuan mataku. Tiap pemain teater yang menari lincah dan melafalkan dialog dengan sempurna, si anak kecil itu menjatuhkan air matanya. Sesering itu juga, aku melirik ke arahnya. Rambut keriting anak itu terlihat berantakan – seolah tidak disisir berminggu-minggu. Tubuhnya kurus dengan wajah hampir tirus – bisa kutebak, ia tak mengenali alat mematut diri dan ia tak peduli dengan itu. Kepalanya sering kali tertunduk – seakan berkata pada dunia; jikalau aku tak pantas untuk ini semua. Terakhir, sepasang matanya yang bengkak – mata itu terbingkai oleh kaca mata berlensa tebal, sekali dilepaskan, matanya menyipit dan melihat lalu-lalang orang-orang bagai siluet bayang yang kabur. Lalu, ia kembali menangis.
Aku tertegun. Aku seakan melihat bayangku sendiri di antara tetes air matanya.
Tak lama sebelum pertunjukkan berakhir, anak kecil itu keluar gedung. Aku mengikutinya. Baru kusadari, ia mengalungkan note kecil dan sebatang pulpen di lehernya. Lalu ia mengambil duduk di balik tembok tinggi yang menjulang dan duduk di atas lantai yang dingin malam itu. Aku mengamatinya – ia menulis sesuatu. Dan beberapa menit setelahnya, kutemukan hal yang paling melegakanku malam itu dan aku tak tahu mengapa; ia tersenyum lepas. Hanya lima detik sebelum akhirnya aku menangkap air mata itu lagi.
Aku hampir gila memerhatikannya. Kuhampiri ia dengan langkah hampir tergesa. Dan saat itu, aku memucat. Tubuhku mematung seperti manekin-manekin yang memajang kostum-kostum di sepanjang lorong gedung.
Itu mata yang sama ketika aku menangis pertama kalinya di antara tawa orang-orang, melihat tas punggungku dipenuh sampah yang dibuang sengaja oleh sekelompok perempuan. Itu tubuh yang sama ketika aku diolok pertama kalinya karena tak bebentuk biola. Itu rambut yang sama ketika aku memusuhinya pertama kalinya karena berbeda dan tak semenawan orang-orang. Itu baju lusuh yang sama ketika aku merendahkan diriku sendiri di antara poster-poster perempuan bergaun malam. Itu note dan pulpen yang sama ketika aku menulis pertama kalinya dan menemukan bayangku di antara selipan kata-kata. Itu aku yang sama ketika bertahun-tahun lalu saat pertama kalinya mengenal dunia.
Anak kecil perempuan itu lenyap. Tinggal aku sendiri, teronggok di tempat yang tadi didudukinya. Rasanya sudah bertahun-tahun lamanya sejak aku tak hentinya mencaci-maki diriku sendiri, dan tanpa ada yang tahu, pelan-pelan aku mati.


teruntuk korban-korban bullying, kamu sempurna ketika menjadi dirimu sendiri. Kamu cantik ketika melakukan apa yang kamu cintai. Dan, aku menyayangimu. Tersenyumlah - menangislah. Kita akan segera melihat pelangi di balik hujan.

This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment