Saturday, 15 November 2014

Aku, Sepayung Kenangan dan Rencana Hujan


Aku cepat-cepat menepikan langkahku di bawah atap salah satu rumah tua yang sudah tak berpenghuni. Titik-titik air yang tiba-tiba tumpah dari awan-awan mendung yang mengandung itu, seakan mengabarkan langit yang lara oleh duka. Lihat saja, tangisnya mendera Bumi begitu lebat. Derasnya tak terkata. Aku pun merapatkan tubuhku dengan pagar berkarat rumah tua itu. Ketika kubalikkan tubuh untuk melihat bagaimana potret rumah tua itu masih bertahan di makan waktu, aku menemukan kenangan mengalir keluar dari balik jendela berkayu reyot itu; aku memucat.
“Apakah ini waktu yang tepat mengulang cerita lama?”
Harusnya kita berdua tahu, tak pernah ada waktu yang tepat. Kenangan itu kejam – ia membuat ingatanmu jatuh cinta pada waktu-waktu yang sudah tertinggal di belakang, dan melumatmu tanpa ampun.
“Kemarin, aku melihat sekelompok anak dengan rok kelabu, berlari-lari kecil keluar dari tenda roti bakar, menerobos hujan yang masih merintik malu-malu. Sama seperti kita di masa lalu,” ujarnya, memulai untai kisah yang menjaringku.
Aku diam – dia tahu akan membisu. Pura-pura kunikmati santap siangku, yang tak tahu kapan kaku dan tawar karena disergap dingin. Tak ada suara yang meningkahi kecuali dua sofa yang duduk saling bercengkerama tentang betapa lucunya aku, yang masih tergagap tiap kali dihadapkan pada sebuncah kisah silam.
“Kamu ingat tepung-tepung itu? Yang kamu pakai kala melatih kita bermain teater. Aku yakin, kebiasaanmu menonton teater dan iseng menulis naskahnya masih terbawa sampai sekarang. Tidakkah kebiasaanmu itu menerbitkan rindu lama?”
Senyap.
“Kamu ingat mobil-mobil angkutan itu? Di sebuah siang terik, kita justru tertawa bersama ketika supirnya berkemudi dengan cepat. Kamu ingat bangku-bangku kayu itu? Jika kamu sempat menengok ruang kelas kita sekarang, bangku-bangku itu sudah lesap. Tapi aku masih ingat bagaimana kawan-kawan kita sering kali merusak mejanya. Terlebih lagi, ketika kamu duduk di sampingku dan kita menyulam tawa seakan hari-hari kita tak akan berakhir.”
Aku menarik nafas – cukup panjang, setidaknya aku membutuhkan udara untuk dada yang sesak oleh siluet-siluet kenangan. Mataku terpaku pada gunungan buku tahunan yang tiap lembarnya merekam momen yang sudah lewat. Ada lambang keabadian dan kebersamaan yang tak akan putus sebagai sampul depannya. Tapi, aku tersentak. Lambang itu diukir di atas latar hitam – begitu kontras, seolah mengatakan, keabadian yang tercetak sebagai kenangan, nantinya akan menari-nari di ruang kalbu dan merontokkan air mata, bagai duka menghitam yang menyayat. Bisakah kukatakan sekali lagi jika mengenang kenangan adalah pengembaraan kalbu yang paling kejam?
Tak terasa, hujan sudah mereda. Mungkin khawatir melihat aku dirundung mendung yang lebih daripadanya. Aku pun beranjak pergi – tanpa menengok melihat rumah tua yang meringkusku dengan bayang lampau, ataupun melirik ke belakang yang menampakkan sekelompok perempuan berlari-lari bermandikan sisa air hujan. Aku dihajar rindu.

0 Comments:

Post a Comment