Aku cepat-cepat menepikan langkahku
di bawah atap salah satu rumah tua yang sudah tak berpenghuni. Titik-titik air
yang tiba-tiba tumpah dari awan-awan mendung yang mengandung itu, seakan
mengabarkan langit yang lara oleh duka. Lihat saja, tangisnya mendera Bumi
begitu lebat. Derasnya tak terkata. Aku pun merapatkan tubuhku dengan pagar
berkarat rumah tua itu. Ketika kubalikkan tubuh untuk melihat bagaimana potret
rumah tua itu masih bertahan di makan waktu, aku menemukan kenangan mengalir keluar
dari balik jendela berkayu reyot itu; aku memucat.
“Apakah ini waktu yang tepat
mengulang cerita lama?”
Harusnya kita berdua tahu, tak
pernah ada waktu yang tepat. Kenangan itu kejam – ia membuat ingatanmu jatuh
cinta pada waktu-waktu yang sudah tertinggal di belakang, dan melumatmu tanpa
ampun.
“Kemarin, aku melihat sekelompok
anak dengan rok kelabu, berlari-lari kecil keluar dari tenda roti bakar,
menerobos hujan yang masih merintik malu-malu. Sama seperti kita di masa lalu,”
ujarnya, memulai untai kisah yang menjaringku.
Aku diam – dia tahu akan membisu. Pura-pura
kunikmati santap siangku, yang tak tahu kapan kaku dan tawar karena disergap
dingin. Tak ada suara yang meningkahi kecuali dua sofa yang duduk saling
bercengkerama tentang betapa lucunya aku, yang masih tergagap tiap kali
dihadapkan pada sebuncah kisah silam.
“Kamu ingat tepung-tepung itu? Yang
kamu pakai kala melatih kita bermain teater. Aku yakin, kebiasaanmu menonton
teater dan iseng menulis naskahnya masih terbawa sampai sekarang. Tidakkah
kebiasaanmu itu menerbitkan rindu lama?”
Senyap.
“Kamu ingat mobil-mobil angkutan
itu? Di sebuah siang terik, kita justru tertawa bersama ketika supirnya
berkemudi dengan cepat. Kamu ingat bangku-bangku kayu itu? Jika kamu sempat
menengok ruang kelas kita sekarang, bangku-bangku itu sudah lesap. Tapi aku
masih ingat bagaimana kawan-kawan kita sering kali merusak mejanya. Terlebih
lagi, ketika kamu duduk di sampingku dan kita menyulam tawa seakan hari-hari
kita tak akan berakhir.”
Aku menarik nafas – cukup panjang,
setidaknya aku membutuhkan udara untuk dada yang sesak oleh siluet-siluet
kenangan. Mataku terpaku pada gunungan buku tahunan yang tiap lembarnya merekam
momen yang sudah lewat. Ada lambang keabadian dan kebersamaan yang tak akan
putus sebagai sampul depannya. Tapi, aku tersentak. Lambang itu diukir di atas
latar hitam – begitu kontras, seolah mengatakan, keabadian yang tercetak
sebagai kenangan, nantinya akan menari-nari di ruang kalbu dan merontokkan air
mata, bagai duka menghitam yang menyayat. Bisakah kukatakan sekali lagi jika
mengenang kenangan adalah pengembaraan kalbu yang paling kejam?
Tak terasa, hujan sudah mereda.
Mungkin khawatir melihat aku dirundung mendung yang lebih daripadanya. Aku pun
beranjak pergi – tanpa menengok melihat rumah tua yang meringkusku dengan
bayang lampau, ataupun melirik ke belakang yang menampakkan sekelompok
perempuan berlari-lari bermandikan sisa air hujan. Aku dihajar rindu.
0 Comments:
Post a Comment