Sunday, 26 October 2014

Yang Bernama Hujan


Itu ruang kelas berdindingkan vanilla bersih, sebentar lagi waktu berhenti di angka delapan. Aku menopang dagu, menghitung menit-menit tunggu. Seseorang akan masuk membawa gumpal-gumpal materi yang siap didesakkan ke ruang pikir, mungkin sejenak lagi. Tiap pasang mata yang tengah menunggu seseorang itu, dirundung gelisah dan digelut ingin tahu yang menderu.  Lengkung kecil terbit di bibirku, terakhir aku meniti nama orang itu, beliau bernama Hujan, diikuti nama belakang yang disemat dari nama tokoh nasionalis India. Aku berbisik, aku yakin ini akan menjadi kelas yang menyenangkan.
penting sekali untuk mencicipi gagal yang menyua usia muda, dan baik sekali untuk tahu apa yang kamu tidak tahu sekarang ini

Biar kubingkai beliau dengan pigura kata di sini. Batik hampir menyetubuhinya tiap hari, jarang – atau mungkin, tidak pernah, kutemukan Hujan menyentuh motif lain kecuali batik. Di hari pertama aku menyapa beliau, beliau menjinjing sebuah tas laptop hitam. Meninggalkannya di tepi meja kelas, membiarkannya teronggok diam. Sembari keluar dari ruang kelas yang mulai diisi suara-suara berisik, lalu kembali dengan sebuah buku tebal berbahas Inggris berwarna putih. Pertama kali mendengarnya bercerita, ketika beliau mengajak pasang-pasang mata di ruang kelas untuk mengembara pada pengalaman-pengalamannya, kamu akan tahu jika beliau bukan cerdas di bidangnya. Beliau bukan cakap di dunianya. Beliau bukan hebat di bagiannya. Tapi, beliau mencintai apa yang dikerjakannya, dan mengerjakan apa yang dicintainya. Dan sejak itu, aku tahu, aku menyukainya.
pagi ini kita akan belajar mindset, harus ada pandangan dan pikiran yang perlu diluruskan sebelum mencaplok materi-materi
Ada remah-remah tawa yang menyeruak ketika tak ada peraturan yang benar-benar mengikat di kelasnya, kecuali jangan berisik. Tidak peduli kamu menitip absen, membolos, tidak mendengar apa yang diterangkan. Beliau bukan tidak peduli, tapi ia peduli dengan cara yang lain; beliau memberitahumu untuk peduli pada dirimu sendiri. Sadar akan apa yang kamu cari. Dan, sejak itu, aku tahu, aku menyukainya.
kau tahu, adakalanya kulaih menjadi tidak berguna ketika kamu hanya mendengar materi dan materi. Keluarlah dari ruang kelas dan atur waktu untuk minum kopi, mungkin lima puluh jam, dengan orang-orang yang expert di bidang yang kamu incar
Mereka katakan padaku, apa yang menarik dari kelas ini. Ini kelas dengan tugas-tugas penuh beban yang berkelanjutan. Rasanya terlalu dini dan muda untuk memulai hal yang dianggap tua-tua. Aku sempat berpikir untuk mundur, lelah memikirkan hitung-hitung bisnis yang tak membuatku bisa terinspirasi menulis. Tapi aku tahu ada yang salah jika aku menyerah, seperti seseorang yang pernah katakan padaku; bukan hanya cakap belajar apa yang kamu minati, tapi juga kemampuan untuk memelajari semua bidang.
Dan sejak itu, aku tahu, yang membuatku bertahan adalah, karena aku menyukainya sebagai dosenku. Aku menghormatinya.
Teruntuk dosen technopreneurship-ku, Pak Rhein Mahatma. Terima kasih untuk kelas-kelasnya yang menyenangkan, dan cara mengajarnya yang lucu-lucu.

0 Comments:

Post a Comment