Berbulan-bulan lalu, aku memutuskan
untuk berhenti menulis buku yang mengisahkan curahan hati akan rasa. Aku lelah
merangkum kenangan si pangeran bulan dalam bintang jatuh, letih merapikan
serakan rindu si lelaki pecinta teh dalam hujan, dan …
… menyerah ketika mencoba
menerjemahkan diam si lelaki yang dikurung bisu dalam remang lampu kota. Tapi di tiap sudut malam, ketika hening
merangkak pada kenang yang menghitam, cerita tentangmu kurajut diam-diam.
Kamu mengenakan jaket kelabu siang
ini. Duduk membelakangi jendela tempat matahari siang mengintip perlahan.
Tubuhmu menjelma siluet. Aku sudah siap memalingkan wajah, kukatakan pada kawan
di sebelahku ketika itu; rasa itu pelan-pelan akan lesap. Dan, waktu-waktu
tunggu yang kamu biarkan menggantung akan membantuku. Tapi di tiap siang yang sendiri, ketika sunyi bersembunyi di balik
keramaian yang mengunci, bayangmu kulukis di bilik hati.
Semoga kamu berhasil. Selamat, aku
yakin kamu bisa meraihnya! Rasanya aku sudah diberangus bodoh dan tolol;
bercakap sendiri di hadapan selembar poster bercetakkan wajahmu yang terbentang
di majalah dinding kampus. Dan kamu tetap mematung dengan lengkung senyum yang
dipotret diam. Kamu punya bayang yang menghantu dan senyum yang mengukung. Aku
takut, selama ini aku hanya menggantung pada asa semu. Tapi di tiap gurat senja, ketika lara menjelma gundah yang maha, terbit
rasa yang tak tereja.
Apakah kamu mengingat obrolan di ujung
pagi itu?
“Boleh tahu namamu?”
Kamu melempariku dengan tatap
bingung. Senyap adalah balasanmu. Dan mataku meniti kartu nama yang terkalung
di lehermu. Kamu tak perlu menjawabnya, sama ketika sajak demi sajak teruntai
untuk mengisi waktu tunggu. Mungkin ada tikungan dimana aku bisa menyerah dan
tak lagi tergugu olehmu. Tapi di tiap
pagi buta yang kuingat, ketika namamu pertama kalinya menyengat, hatiku sudah
siap tertambat.
Maka,
jangan buat segalanya terlambat.
0 Comments:
Post a Comment