Sunday, 26 October 2014

Potret yang Sepia

ini potret (yang kurekam sendiri) dan sajak panjang tentang angan akanmu yang memudar hingga jadi potret berwarna sepia; untukmu, kado ulang tahunmu di tanggal 26
ini pohon yang mengering, meranggaskan angan

Kawanku menyikutku berkali-kali. Katanya, itu ada kamu, yang jelas-jelas tengah tenggelam di antara lautan teman-temanmu, bercengkerama dan bertukar canda. Langkahmu mendekat menghampiri temanmu yang duduk tepat di seberang kiriku. Aku menunduk sembari menangkapmu dari sudut mataku. Sudut mataku utuh membingkaimu yang mengenakan jaket biru tua, melengkungkan senyum lebar. Tapi, sejenak itu juga, tatapku meragu dan aku merapuh. Kawanku menyikutku sekali lagi. Katanya, itu ada kamu, yang jelas-jelas berdiri bersama seorang perempuan mungil – yang menjejak bersamamu melewati koridor kelabu, yang melangkah kecil bersamamu di antara bisingnya kantin siang.
Pena yang terkalung di leherku memucatkan tintanya. Ia tak sudi kupinjam untuk menuliskan sajak-sajak luka. Ia tak ingin lagi kupinjam untuk memotretmu dalam kata. Ia tak mau lagi kupinjam untuk menulismu dalam pigura-pigura yang membingkai lembar foto angan-angan yang sebentar lagi menuju sepia. Malam itu, kupinjam sajak milik H. F Zainsam;
Pertemuan cintaku dan cintamu
Adalah tragedi anomali ruang dan waktu
Aku bukan lelakimu
Yang membutuhkan perempuan
Dan kamu bukan perempuanku
Yang membutuhkan lelaki
Kemana aku harus berlari kecuali dibalik ranggasnya daun angan yang telah mengering – bagai potret harap yang sepia. Ataukah pada puisi-puisi yang menyendiri di akhir hari?

0 Comments:

Post a Comment