ini pohon yang mengering, meranggaskan angan |
Kawanku menyikutku berkali-kali.
Katanya, itu ada kamu, yang jelas-jelas tengah tenggelam di antara lautan
teman-temanmu, bercengkerama dan bertukar canda. Langkahmu mendekat menghampiri
temanmu yang duduk tepat di seberang kiriku. Aku menunduk sembari menangkapmu
dari sudut mataku. Sudut mataku utuh membingkaimu yang mengenakan jaket biru
tua, melengkungkan senyum lebar. Tapi, sejenak itu juga, tatapku meragu dan aku
merapuh. Kawanku menyikutku sekali lagi. Katanya, itu ada kamu, yang
jelas-jelas berdiri bersama seorang perempuan mungil – yang menjejak bersamamu
melewati koridor kelabu, yang melangkah kecil bersamamu di antara bisingnya
kantin siang.
Pena yang terkalung di leherku
memucatkan tintanya. Ia tak sudi kupinjam untuk menuliskan sajak-sajak luka. Ia
tak ingin lagi kupinjam untuk memotretmu dalam kata. Ia tak mau lagi kupinjam
untuk menulismu dalam pigura-pigura yang membingkai lembar foto angan-angan
yang sebentar lagi menuju sepia. Malam itu, kupinjam sajak milik H. F Zainsam;
Pertemuan
cintaku dan cintamu
Adalah
tragedi anomali ruang dan waktu
Aku
bukan lelakimu
Yang
membutuhkan perempuan
Dan
kamu bukan perempuanku
Yang
membutuhkan lelaki
Kemana aku harus berlari kecuali
dibalik ranggasnya daun angan yang telah mengering – bagai potret harap yang
sepia. Ataukah pada puisi-puisi yang menyendiri di akhir hari?
0 Comments:
Post a Comment