Di sepotong petang yang sabit, aku
menuang terlalu banyak krimmer ke dalam cangkir kopi. Jendela berdebu tebal
yang sudah tua dikerat waktu, basah oleh rintik hujan yang turun malu-malu tadi
senja. Mataku terkunci disana, sudah lama sekali aku tak menyesap teh hangat
yang kerap kali menyamar menjadi masa lalu; mungkin karena aku memilih kafein
yang lebih berat, untuk membuatku tetap terjaga meniti bayangmu yang sering
menjelma sepia. Tapi, ini krimmer yang tertuang terlalu lebih, membuat pahitnya
kopi menjadi tawar, dan pekatnya kopi menjadi lengket. Rasanya tak enak.
Mereka bilang, aku hanya sekadar
pujangga yang bercinta lewat kata; lalu mengajakmu ke dalamnya. Kuseruput krimmer rasa
kopi yang berbuih di cangkir porselenku. Bagaimana harus kubincangkan padamu
tentang ini? Ketika kawanku dengan semangatnya berkisah akan pertemuannya
denganmu di lahan-lahan sunyi, di ruang kelas, di tempat makan, dan banyak
sapa-sapa tak diterka lainnya. Dan di mataku, kamu layaknya disembunyikan tiap
bayang lalu-lalang orang yang lewat.
Tunggu-tunggu yang menghamili Selasa
perawan, masih mengandung hingga sekarang. Tak jua kamu hirau, membiarkannya
terseok meraungkan namamu yang dicekik rindu. Kamu tinggalkan layar komputer
digerogoti bisu-bisu, kamu diamkan ruang pesan singkat dicokol cemas penuh
harap.
Dalam album waktu hari-hari ini,
kamu bisa dapatkan bagaimana aku mencoba menebak-menebak sedang apa kamu; sibuk
dengan kode-kode yang kamu tulis di lembar jawaban ujian, menyiapkan program
kerja, mengurusi rapat yang meletihkan tulang, menukar canda-tawa yang
mengeringkan kerongkongan, menghabisi waktu dengan jalan-jalan. Ataukah, kamu
jua ikut berkubang pada waktu-waktu tunggu? Kita saling menukar bisu - karena
di balik diam-diam itulah, kita pertama kali bertemu dan aku mulai meletakkan
angan rasa padamu? Mungkinkah, ini bagai bebatuan yang menepi di bibir pantai?
Diam-diam mencintai, menyampaikan pesan hati lewat debur ombak di tengah malam
yang hening pada lautan yang maha menderu? Lalu, aku terhenyak. Disentak
kemungkinan lain; bahkan batu paling besar pun bisa hancur ditelan tetes-tetes
air tiap harinya atau dihantam ombak-ombak garang, akankah kita nyatanya bagian
dari pelukisan yang ini?
Kamu tahu, kali ini aku berceloteh
terlalu banyak – seperti krimmer yang berlebih itu. Karena pada akhirnya, ini
sajak terakhirku padamu; tentang terbit rasa yang berlabuh pada pisah. Aku
sudah letih dilumat tunggu-tunggu yang diisi timbang tak pasti; walau kau
sadar, ini kata penuh makna yang nisbi. Dan setelahnya hanyalah ekstase-ekstase
yang tak kupahami. Jangan tanyakan lagi; sebab malam ini, aku sudah menutup
kisah.
0 Comments:
Post a Comment