Friday, 31 October 2014

Menutup Kisah Lelaki yang Dikurung Bisu


Di sepotong petang yang sabit, aku menuang terlalu banyak krimmer ke dalam cangkir kopi. Jendela berdebu tebal yang sudah tua dikerat waktu, basah oleh rintik hujan yang turun malu-malu tadi senja. Mataku terkunci disana, sudah lama sekali aku tak menyesap teh hangat yang kerap kali menyamar menjadi masa lalu; mungkin karena aku memilih kafein yang lebih berat, untuk membuatku tetap terjaga meniti bayangmu yang sering menjelma sepia. Tapi, ini krimmer yang tertuang terlalu lebih, membuat pahitnya kopi menjadi tawar, dan pekatnya kopi menjadi lengket. Rasanya tak enak.  

Mereka bilang, aku hanya sekadar pujangga yang bercinta lewat kata; lalu mengajakmu ke dalamnya. Kuseruput krimmer rasa kopi yang berbuih di cangkir porselenku. Bagaimana harus kubincangkan padamu tentang ini? Ketika kawanku dengan semangatnya berkisah akan pertemuannya denganmu di lahan-lahan sunyi, di ruang kelas, di tempat makan, dan banyak sapa-sapa tak diterka lainnya. Dan di mataku, kamu layaknya disembunyikan tiap bayang lalu-lalang orang yang lewat.
Tunggu-tunggu yang menghamili Selasa perawan, masih mengandung hingga sekarang. Tak jua kamu hirau, membiarkannya terseok meraungkan namamu yang dicekik rindu. Kamu tinggalkan layar komputer digerogoti bisu-bisu, kamu diamkan ruang pesan singkat dicokol cemas penuh harap.
Dalam album waktu hari-hari ini, kamu bisa dapatkan bagaimana aku mencoba menebak-menebak sedang apa kamu; sibuk dengan kode-kode yang kamu tulis di lembar jawaban ujian, menyiapkan program kerja, mengurusi rapat yang meletihkan tulang, menukar canda-tawa yang mengeringkan kerongkongan, menghabisi waktu dengan jalan-jalan. Ataukah, kamu jua ikut berkubang pada waktu-waktu tunggu? Kita saling menukar bisu - karena di balik diam-diam itulah, kita pertama kali bertemu dan aku mulai meletakkan angan rasa padamu? Mungkinkah, ini bagai bebatuan yang menepi di bibir pantai? Diam-diam mencintai, menyampaikan pesan hati lewat debur ombak di tengah malam yang hening pada lautan yang maha menderu? Lalu, aku terhenyak. Disentak kemungkinan lain; bahkan batu paling besar pun bisa hancur ditelan tetes-tetes air tiap harinya atau dihantam ombak-ombak garang, akankah kita nyatanya bagian dari pelukisan yang ini?
Kamu tahu, kali ini aku berceloteh terlalu banyak – seperti krimmer yang berlebih itu. Karena pada akhirnya, ini sajak terakhirku padamu; tentang terbit rasa yang berlabuh pada pisah. Aku sudah letih dilumat tunggu-tunggu yang diisi timbang tak pasti; walau kau sadar, ini kata penuh makna yang nisbi. Dan setelahnya hanyalah ekstase-ekstase yang tak kupahami. Jangan tanyakan lagi; sebab malam ini, aku sudah menutup kisah.

0 Comments:

Post a Comment