Di suatu pagi, aku menyibakkan
gorden jendela ruang tengah yang didiami gelap. Kedua manik mataku mengintip
setetes embun yang meragu; antara jatuh atau tetap menggantung. Aku tersenyum
kecil, kubiarkan subuh berakhir dan pagi memotret dirinya sendiri. Segalanya
berjalan dalam ritme yang sama dan biasa, sampai pagi itu menginjak pukul
delapan.
Di koridor kampus yang diselami
warna kelabu gelap, ada bayangmu yang melambat di ujung belokkan. Sudut matamu
untuk pertama kalinya menyarangkan tatapnya padaku. Kamu seharusnya tahu, ini
sebuah kesalahan. Karena di malam yang penuh oleh denting-denting musik hening,
kamu akan menemukan pigura yang membingkai bayangmu di sini. Di tubuh kata yang
mencari-cari.
rasanya
begitu purba
ketika
aku mencoba mengais sedikit kenang lampau akan kita
yang
kukira sudah membentuk sia-sia
matamu
justru menawar asa yang menghantui tanpa koma
Kamu mengenakan kaus merah.
Segalanya terasa menyala. Kita tak pernah beradu tatap. Dan, sekalinya matamu
bersarang, saat itu juga ingin kubungkus pulang. Apa mungkin, pagi ini, kamu
ingat temu pertama kita dulu-dulu yang dipenuhi ragu darimu dan galuh dariku?
merah
yang menyetubuhi tubuhmu pagi ini
seperti
unggun api yang menyampaikan sisa hangat
pada
malam sepi nan sendiri
hitam
yang menyentuh tubuhmu pagi ini
seperti
ilalang yang menancap di sepertiga malam
pada
bulat rembulan
Tatap tadi yang serupa sua diam,
telah menjelma menjadi mantel hangat yang memeluk rindu yang mengigil di
pertengahan malam. Sudahlah, terkadang aku hanya ingin menyerah. Biar
puisi-puisi itu yang berserah.
0 Comments:
Post a Comment