"Jauh
sekali. Kenapa tidak coba menyewa kost saja di sini? Jarak dan waktu tempuhmu
tidak dekat loh,” ujar seorang kawan yang ditemuinya di ambang pintu bilik
toilet. Ia menjawabnya dengan gelengan pelan, lantas tersenyum.
“Hanya
tiga kali seminggu, selagi masih bisa pulang ke rumah, aku lebih memilih
pulang,” jawabnya santai. Teringat olehnya kedua orang tuanya yang sudah renta,
tapi masih membanting tulang dan memeras tenaga untuknya berkuliah.
“Kalau
aku jadi kamu, aku sudah pilih housing di sini saja deh. Ambil jarak dengan
orang tua.” Kawannya, seorang perempuan berambut panjang itu mengibaskan
rambutnya, mencoba merapikan anak-anak rambutnya yang dimainkan angin. Ia masih
mempertahankan senyumnya, tak tahu harus menjawab apa. Karena yang ada di
benaknya kini adalah sepasang mata sayu kedua orang tuanya yang masih berbinar
walau dirundung letih dan lelah tak berkesudahan, seluruhnya untuk pemenuhan
hari-hari kuliahnya.
“Aku
tidak pernah memilih untuk kuliah. Tapi tetap dipaksa. Kalau bisa berontak, aku
mau bikin ulah saja. Siapa suruh orang tua nyuruh-nyuruh aku kuliah,” timpal
kawannya sembari menghentakkan kaki dan melangkah pergi meninggalkannya. Ia
diam, dipandanginya pantulan wajahnya di permukaan kaca cermin toilet. Pikirannya
mengajaknya menerawang pada waktu-waktu dulu, dan mengembara pada tebak-tebakkan
waktu-waktu esok.
Ini cerita tentangnya. Tentang
seorang perempuan yang lahir di sebuah kota kecil, yang hidup sederhana –
dengan ritme hidup yang lebih banyak jatuh dibandingkan menanjak. Tapi ia
percaya satu hal; jatuh berkali-kali tak apa, asalkan ia mampu bangkit.
Dibanding ia harus terus menanjak dan tergelincir.
Ia hidup dengan sebuah tas punggung
kelabu yang gembel. Berjalan sedikit membungkuk, kepala tertunduk dan langkah
yang terseok-seok. Ia pikir, ia malu dengan dirinya sendiri; ia tak terlalu menarik
untuk diperhatikan lawan jenis, ia juga tak begitu keren karena tidak
mengendarai mobil (ia menaiki kereta dan sesekali motor usang), ia kerap kali
kesulitan mengikuti kelas-kelas yang mengharuskannya membeli barang-barang ‘wah’,
dan ia dipastikan selalu terlambat dalam pelunasan administrasi. Tapi, ada jua
banyak hal yang tak ia pikir. Jika ia punya bongkah impian, sekepal mimpi dan
segenggam harapan. Hal-hal yang tak dijual di toko dan dibeli uang. Ia punya
ketiganya di pundak kanannya, dan di pundak kirinya, ada semangkuk air mata dan
sesendok cinta yang selalu ia bawa kemana-mana. Itu adalah titipan kasih dan
doa dari kedua orang tuanya; untuknya.
“Aku melangkah dengan tiap bait doa
orang tuaku, menapaki tebing-tebing terjal untuk menyentuh awan-awan mimpiku,
dan menjadi diriku sendiri. Karenanya, aku percaya. Aku bisa terbang, dan Tuhan
tengah memeluk mimpi-mimpiku dalam tiap harapan yang kubisikkan di tepi malam
tiap harinya.”
Lalu, terdengar isak kecil
setelahnya. Tak ada yang tahu, bahkan ia sendiri pun, jikalau ia kini telah bersayap. Suatu hari, kamu akan melihatnya terbang.
0 Comments:
Post a Comment