Saturday, 13 September 2014

Sejenak Hening


“…aku melihatnya menyentuh apa yang kering menjadi hijau, apa yang hitam putih menjadi pelangi, apa yang kecil menjadi besar, apa yang membuat orang-orang menggelengkan kepala menjadi tertegun dalam hening. Dan, aku menangis dua kali untuknya,” ujarku pada dua kelas yang kuhadiri dalam penuturan sederhana tentang sebuah rekam visual gerak yang kupilih sebagai bahan diskusi. (Watch the video click here)
Selalu ada jeda hening – yang diiringi kembang kempis hidung setelah dikurung senyapnya haru – ketika harus melukiskan bagaimana lelaki dalam rekam video tersebut memberi kita gambaran kebahagiaan sesungguhnya. Selalu ada sejenak diam – yang disusul dengan tetes air mata perlahan terbit dari sudut mata – ketika harus mengutarakan bagaimana lelaki tersebut membeir tahu kita betapa indahnya kepedulian. Selalu ada tatap bisu yang panjang – yang ditemani isak kecil tertahan di kerongkongan yang tercekat – ketika harus mengukir bagaimana lelaki tersebut menjelmakan hal sederhana/kecil menjadi suatu hal yang luar biasa. Sebab, lelaki tersebut memberi ruang kecil penuh harap di sudut hati kita. Ruang itu adalah dunia nurani penuh peduli dan berbagi yang istimewa.
Dalam video berdurasi hanya tiga menit itu, aku belajar banyak. Bahwa, bukan memberi ketika kita berlebih yang membuat kita hebat. Tapi, saat kita masih bisa memberi walaupun terkukung keterbatasan itulah yang membuat kita berarti. Itulah sejatinya berbagi. Einstein pernah berkata, sesungguhnya kita terpenjara antara ‘pertempuran’ logika dan hati kita. Hal yang harus kita lakukan adalah membebaskan diri dari keduanya, ikuti bisik dari diri kita terdalam, mengikutinya dan mulai bergerak merangkul dunia menjadi lebih baik lagi.
Biar aku mengutip salah satu kalimat dalam buku Sejenak Hening-nya Adjie Silarus; kita paham bagaimana caranya mengorbankan sekian tahun untuk mendapatkan gelar sarjana. Kita bersedia bekerja keras, bahkan sangat keras untuk mendapatkan pekerjaan, mobil impian, ruman mewah, menjadi pengusaha sukses dsb. Akan tetapi, kita lupa untuk menikmati hari ini. Kita mungkin tidak akan mendapat ‘apa-apa’ dengan menengok sejenak pada tumbuhan kecil yang mengering di sudut jalan, pada orang gila yang luntang-lantung, pada ibu-ibu yang membawa beban berat di pinggiran jalan, pada bapak paruh baya yang mengayuh becak dengan beban berat, pada anak jalanan yang bahagia dengan sekantung receh, pada hewan kelaparan yang bersembunyi di kolong-kolong. Namun, coba tanyakan pada celah kecil paling dalam hati kita, apakah benar kita tidak akan mendapat apa-apa ketika mengulur tangan sejenak saja untuk melihat peluh-peluh di sekitar kita? Kita; selayaknya lelaki tersebut, tak akan kaya, muncul di televisi ataupun terkenal. Tapi sesungguhnya, kita telah mendapatkan apa yang tidak bisa dibeli dengan uang; sebongkah cinta, yang dikomposisi oleh bahagia, sederhana, peduli, berbagi, damai dan hati kita sendiri.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment