“…aku melihatnya menyentuh apa yang
kering menjadi hijau, apa yang hitam putih menjadi pelangi, apa yang kecil
menjadi besar, apa yang membuat orang-orang menggelengkan kepala menjadi
tertegun dalam hening. Dan, aku menangis dua kali untuknya,” ujarku pada dua
kelas yang kuhadiri dalam penuturan sederhana tentang sebuah rekam visual gerak
yang kupilih sebagai bahan diskusi. (Watch the video click here)
Selalu ada jeda hening – yang
diiringi kembang kempis hidung setelah dikurung senyapnya haru – ketika harus
melukiskan bagaimana lelaki dalam rekam video tersebut memberi kita gambaran
kebahagiaan sesungguhnya. Selalu ada sejenak diam – yang disusul dengan tetes
air mata perlahan terbit dari sudut mata – ketika harus mengutarakan bagaimana
lelaki tersebut membeir tahu kita betapa indahnya kepedulian. Selalu ada tatap
bisu yang panjang – yang ditemani isak kecil tertahan di kerongkongan yang
tercekat – ketika harus mengukir bagaimana lelaki tersebut menjelmakan hal
sederhana/kecil menjadi suatu hal yang luar biasa. Sebab, lelaki tersebut
memberi ruang kecil penuh harap di sudut hati kita. Ruang itu adalah dunia
nurani penuh peduli dan berbagi yang istimewa.
Dalam video berdurasi hanya tiga
menit itu, aku belajar banyak. Bahwa, bukan memberi ketika kita berlebih yang
membuat kita hebat. Tapi, saat kita masih bisa memberi walaupun terkukung
keterbatasan itulah yang membuat kita berarti. Itulah sejatinya berbagi. Einstein
pernah berkata, sesungguhnya kita terpenjara antara ‘pertempuran’ logika dan
hati kita. Hal yang harus kita lakukan adalah membebaskan diri dari keduanya,
ikuti bisik dari diri kita terdalam, mengikutinya dan mulai bergerak merangkul
dunia menjadi lebih baik lagi.
Biar aku mengutip salah satu kalimat
dalam buku Sejenak Hening-nya Adjie
Silarus; kita paham bagaimana caranya
mengorbankan sekian tahun untuk mendapatkan gelar sarjana. Kita bersedia
bekerja keras, bahkan sangat keras untuk mendapatkan pekerjaan, mobil impian,
ruman mewah, menjadi pengusaha sukses dsb. Akan tetapi, kita lupa untuk
menikmati hari ini. Kita mungkin tidak akan mendapat ‘apa-apa’ dengan
menengok sejenak pada tumbuhan kecil yang mengering di sudut jalan, pada orang
gila yang luntang-lantung, pada ibu-ibu yang membawa beban berat di pinggiran
jalan, pada bapak paruh baya yang mengayuh becak dengan beban berat, pada anak
jalanan yang bahagia dengan sekantung receh, pada hewan kelaparan yang
bersembunyi di kolong-kolong. Namun, coba tanyakan pada celah kecil paling
dalam hati kita, apakah benar kita tidak akan mendapat apa-apa ketika mengulur
tangan sejenak saja untuk melihat peluh-peluh di sekitar kita? Kita; selayaknya
lelaki tersebut, tak akan kaya, muncul di televisi ataupun terkenal. Tapi
sesungguhnya, kita telah mendapatkan apa yang tidak bisa dibeli dengan uang; sebongkah
cinta, yang dikomposisi oleh bahagia, sederhana, peduli, berbagi, damai dan
hati kita sendiri.
0 Comments:
Post a Comment